free page hit counter
Opini

Titik Awal : Pemuda Pulang dari Rantau, Membangun Desa

Bagi sebagian besar pemuda pemudi yang tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi di kota, merantau adalah kata yang seringkali mereka dengar dan sudah tak asing lagi di telinga. Apalagi jika disandingkan dengan kata demi masa depan pribadi dan keluarga, pergi meninggalkan kampung halaman memanglah sesuatu hal yang sekiranya perlu dilakukan.

Banyak faktor pendukung lainnya yang juga menjadi alasan sebagian perantau pergi meninggalkan kota, arus urbanisasi pun menjadi semakin besar dan terus mengalir menuju area perkotaan. Alhasil, pedesaan akan benar-benar menjadi desa yang sunyi. Sedikit pembangunan dan kemajuan SDM nya sulit berkembang pesat.

Melalui keresahan tersebut, penulis bermaksud membuka peluang bagi desa-desa yang ada di Indonesia untuk dapat kembali bangkit dan maju. Melalui pembangunan yang dilakukan oleh masyarakatnya sendiri, menggunakan SDM yang memang berasal dari desa tersebut dan untuk kemajuan desa tersebut pula.

Kembali membahas pemuda, tentu saja yang menjadi titik ukur pada tulisan ini ialah pemuda perantauan. Penduduk asli suatu daerah yang pada beberapa kasus merupakan masa depan tulang punggung keluarga, harapan keluarga di desa dan dipercaya untuk menempuh pendidikan demi menaikkan derajat keluarga inti.

Bergerak dari alasan tersebut, banyak pemuda yang sejatinya memang telah termotivasi. Pendidikan bukan saja menjadi sesuatu hal yang ingin diraih, melainkan pondasi awal demi masa depannya kelak. Meninggalkan desa pun bukan sesuatu hal yang berat bagi mereka, namun sayangnya banyak pemuda ketika pendidikannya telah selesai malah enggan kembali ke kampung halaman.

Alasan terbesar pemuda yang enggan pulang dari perantauan ialah telah mendapatkan pekerjaan yang layak di kota, gaji besar dan jabatan yang menaikkan derajat mereka. Selain itu, beberapa tahun berada di perkotaan telah menjadikan mereka hatam harus bagaimana dan seperti jika tinggal serta hidup di kota. Sudah terbiasa dan telah beradaptasi dengan baik. Tak akan ada yang menyalahkan keinginan tersebut, semuanya kan demi kebaikan.

Sekarang terkait desa, mungkin jika kita teliti dan mengingat dengan benar. Seringkali kita mendengar “Ngapain di Desa, lebih baik keluar saja dari daerah jika ingin berkembang” atau “Kalau hanya di Desa kita tidak akan bisa berkembang,” mirisnya dua kalimat tersebut biasanya diucapkan oleh para warga desa dan ditujukan untuk mahasiswa perantauan atau pemuda desa.

Kasarnya, para tetua lah yang meminta pemuda desa untuk mengepakkan sayap diluar daerah dan menjadi sukses serta memajukan daerah lain. Lucu, padahal desa juga memerlukan SDM yang mumpuni, terlebih jika SDM itu didominasi oleh pemuda maka rasio peningkatan kemajuannya akan semakin meningkat.

Telah kita ketahui bersama, sebagian besar pemuda ialah pemikir dan dari mereka-merekalah muncul banyak sekali inovasi kreatif serta pemuda merupakan masyarakat yang selalu resah akan pengembangan diri. Artinya jika ia merasa perlu melakukan sesuatu demi dirinya, maka imbasnya juga akan membantu pembangunan lingkungan sekitarnya dan ini berefek ke segala sektor.

Bayangkan jika pemuda-pemuda yang ada di desa memiliki ragam pemikiran serta inovasi penggerak desa. Bayangkan juga, jika seluruh pemuda memiliki pemikiran yang sama untuk membantu pembangunan desa atau melakukan suatu gerakan demi memajukan SDM di desa. Bukankah itu sesuatu hal yang sangat luar biasa? Masyarakat pedesaan gembira dan pemuda juga turut senang akan hasil yang memuaskan tersebut.

Namun, balik lagi ke “Kalau hanya di Desa kita tidak akan bisa berkembang”. Sebenarnya ini hanyalah prasangka, namun jika beberapa orang membenarkannya atau bisa dikatakan malah benar-benar pergi meninggalkan desa, maka “tidak akan bisa berkembang” menjadi kenyataan. Ada dua objek pada kalimat tersebut, kita yang dimaksud pada kalimat ini ialah di penerima atau pendengar kalimat tersebut, kemudian desa.

Jika diberi pilihan, kalian menginginkan yang mana? Desa yang berkembang atau diri kalian? Garis bawahi, jika kalian yang berkembang ya hasilnya hanya untuk kalian sendiri, namun jika desa yang berkembang, maka segala sektor termasuk SDM di desa akan berkembang secara bersamaan. Kira-kira pilih yang mana? Jika sulit, mari kita diskusikan lebih lanjut.

Aminuddin (2017) menyebutkan, bahwa mitos jika kota dianggap memiliki segudang kenikmatan yang tak terhingga dan belum terkikis di tengah-tengah keramaian masyarakat. Sebagai contoh, sudah sejak dahulu kala DKI Jakarta menjadi pusat perkonomian Indonesia. Hampir 60% lebih perekonomian berputar di ibukota ini. Dikutip dari detiknews, Rabu (16/02/22).

Data tersebut pun menjadi patokan sebagian besar masyarakat desa, dan stereotip merantau ke kota akan membantu meningkatkan taraf hidup muncul begitu saja. Bukan sesuatu hal yang salah, tidak tidak, hanya saja masyarakat seharusnya dapat berfikir lebih saksama lagi.

Taraf hidup seseorang itu tidak hanya dinilai dari seberapa sukses dirinya dan seberapa banyak yang ia miliki. Tetapi bagaimana ia memanfaatkan apa yang ia miliki dan memberikan dampak positif bagi lingkungan di sekitarnya.

Sama halnya dengan pemuda perantauan, kembali ke desa dan menggunakan pengetahuan yang ia miliki untuk menciptakan suatu inovasi. Bukankah manfaatnya akan dirasakan juga oleh masyarakat. Desa dan pribadi pemuda tersebut ikut berkembang. Bukan di kota, melainkan di kampung halaman.

Jadi yah, penulis memaksudkan tulisan ini sebagai pengingat, jika yang kita inginkan ialah pembangunan, maka bangunlah diri pribadimu dengan berbagai ilmu dan cobalah untuk membagikannya. Hasilkan sesuatu melalui apa yang dirimu peroleh, jika kamu pemuda perantauan, kembalilah ke kampung halaman. Percayalah, beberapa masyarakat atau para tetua desa yang mengetahui pemudanya seorang lulusan perguruan tinggi, pasti mengharapkan sesuatu hal yang besar dari dirimu.

Kamu pemuda desa dan sekarang saatnya bagimu untuk memajukan kampung halaman. Sahabat Damai, jangan lupakan jati dirimu yah.

A Sofyan NA

Join The Discussion