Jiwa sosial bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami ujian. Terlihat dari beberapa kasus korban yang terjangkit virus Covid-19 tidak sedikit yang dikucilkan di lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan di beberapa wilayah terjadi penolakan jenazah korban Covid-19 yang hendak disemayamkan. Hal ini disebabkan oleh kepanikan yang berlebihan akibat penyebaran berita-berita palsu di berbagai sosial media. Selain itu, ketersediaan dana yang dianggarkan pemerintah disetiap penanganan bencana menjadi pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum terlaksana dengan baik. Wabah Covid-19 bukanlah bencana yang serupa dengan gempa bumi, longsor dan bencana alam lainnya yang bisa dengan cepat dilakukan perhitungan anggaran. Lebih dari itu, wabah Covid-19 menyebar dengan luas. Dalam beberapa hari korban berjatuhan. Obat-obatan berkurang, ketersediaan APD belum memadai, bahkan orang-orang miskin dan rentan miskin yang tidak terjangkit virus Covid-19 tetap menjadi korban dan harus menjadi perhatian pemerintah.
Maka dari itu, yang mesti dioptimalkan dan berperan ganda ialah bentuk persatuan, dan empati antar sesama dalam menghadapi wabah pandemi Covid-19 ini. Konsep persatuan dan empati itu digali dari akar budaya kita masing-masing sebagai masyarakat Indonesia yang selalu menanamkan nilai-nilai persaudaraan dan kebhinnekaan. Konsep empati, sebagai suatu kearifan mestinya tidak terlalu sulit untuk diimplementasikan dalam menghadapi Covid-19 ini. Bagaimana Konsep empati bisa difungsikan sebagai cara untuk mereduksi sikap agresif dan menumbuhkan sikap prososial, seperti sifat kepedulian dan gotong royong. Alasan mendasar dari hal tersebut adalah dengan adanya kesamaan substansi antara empati dengan satu kearifan nilai. Misalnya saja yang melekat dalam tradisi budaya Bugis-Makassar selama berabad-abad lamanya disebut sebagai pacce dalam tradisi Makassar atau pesse’ dalam tradisi bugis sebagai Local Wisdom dalam menghadapi Pandemi Covid-19.
Penggalian terhadap nilai lokal yang merepresentasikan sebuah konsep empati akan sangat memudahkan dalam tataran implementasi pada penanganan Covid-19 ini. Implementasinya berupa dukungan moril kepada orang yang terjangkit positif Covid-19, membantu mereka ketika sedang menjalani karantina mandiri, memberi support kepada para tenaga medis yang berada di garda terdepan, ikut menjadi relawan untuk menolong teman-teman kita yang mungkin kurang mampu secara ekonomi. Atau paling tidak, ikut berjuang dengan tetap berada di rumah demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19 ini. Nilai-nilai itulah yang kita sebut dengan pacce atau pesse’.
Pengertian pesse’ atau pacce sendiri berarti pedih atau perih. Sedangkan pesse’ dalam pengertian yang luas mengindikasikan perasaan haru yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial. Dengan kata lain pesse’ mengacu pada suatu kesadaran dan perasaan empati terhadap penderitaan oleh setiap anggota masyarakat. Bahkan pesse’ sendiri merupakan pelengkap dari konsep siri’, sehingga dikenal istilah siri’ na pesse/pacce sebagai konsep yang sangat menentukan dalam identitas orang Bugis-Makassar dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya.
Dalam praktik keseharian Masyarakat Bugis dan Makassar, tata nilai pesse’ lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya siri’ (malu). Dalam konteks yang lebih luas, pesse’ melambangkan solidaritas di dalam suatu kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras. Sehingga rasa saling pesse’ antar anggota sebuah masyarakat dapat diartikan sebagai wujud kohesivitas sekaligus nilai yang mendasari kohesivitas masyarakat tersebut.
Nilai pesse’ sebagai model empati, untuk terus memberikan semangat optimisme dalam kehidupan sehari-hari kita bersama. Indonesia punya banyak pengalaman untuk bisa lepas dari berbagai macam keadaan. Hal itu bisa dilakukan jika semua pihak saling bergandengan tangan, saling jaga, menularkan nilai pesse’ atau pacce antar sesama, menyatukan semua kekuatan dan bukan justru memecah belah dengan provokasi ataupun hoaks. Perpecahan hanya akan membuat kita lemah dalam menghadapi apa yang terjadi. (AWS)