free page hit counter
Opini

Tak Hanya Childfree, Waithood Juga Ramai Jadi Perbincangan Netizen

Pernah denger kata-kata ini gak? “kamu itu terlalu pemilih“, “kasihan itu orang tuamu kalau kamu gak nikah-nikah“, “tuh lihat orang-orang seumuranmu sudah gendong anak“, atau “apa lagi yang ditunggu, udah berumur juga.”

Sebagai perempuan single usia 26 sampai 30 lebih yang tidak memprioritaskan pernikahan, omongan tadi ibarat makanan sehari-hari. Gitu juga gk sih? Maklum masalah pernikahan bisa jadi social pressure ketika sudah berumur dan masih single.

Padahal zaman udah berubah yah sekarang kebanyakan orang lebih memprioritaskan karir, pendidikan, dan banyak juga yang merasa content sama dari sendiri tanpa harus menggantungkan kebahagiaan dan kehidupan kepada orang lain.

Nah, akhir-akhir ini muncul fenomena waithood atau yang lebih dikenal melajang untuk menunda pernikahan dan menurut survei, fenomena ini marak terjadi di Indonesia dan negara lain. Kira-kira apa tuh faktornya? Dan apakah generasi sekarang punya persepsi berbeda tentang pernikahan? Simak penjelasan saya dibawah ini

Pernikahan kadang dijalani karena orang tak punya pilihan selain menuruti standar kenormalan/ekspektasi orang lain. Selain mengikuti standar ekspektasi orang lain di Asia yang menganggap, bahwa menikah itu adalah simbol kedewasaan dan kebutuhan hidup. Jadi yah bagi yang belum menikah akan di beri stigma negatif oleh masyarakat.

Di Indonesia sendiri gadis yang belum menikah diberi sebutan sebagai gasturi atau gadis tua Republik Indonesia, kejam yah! Untungnya zaman berubah abad ke-21 justru menjadi era dimana melajang makin dianggap normal. Sejumlah survei menyebutkan bahwa di Asia Timur seperti Taiwan, Cina dan Korea Selatan diproyeksikan akan terus naik sampai  tahun 2050.

Pew Reasearch juga ikut melakukan survei yang menunjukkan bahwa generasi milenials kebanyakan menikah di usia yang lebih tua dibandingkan generasi sebelumnya. Mengenai fenomena ini jadi perhatian beberapa akademisi diantaranya Mercia Inhorn dari Yale University dan Nancy Smith dari Boston University yang menguliknya lebih dalam melalui konferensi.

Pencetus tren waithood atau melajang untuk menunda pernikahan ini adalah Diana Singerman dari American University yang mensurvei beberapa negara yang terindikasi anak mudanya tidak mementingkan urusan pernikahan. Banyak loh ternyata ada dari Yordania, Jepang, Cina, Smerika serikat, Rwanda, dan Guatemala. mereka memiliki alasan yang bermacam-macam.

Waithood di Indonesia pun mulai merambat ke kalangan anak-anak muda yang tidak terlalu memprioritaskan menikah. Kebanyakan dari mereka lebih ingin melanjutkan pendidikan atau ingin fokus pada dunia kerja. Membangun karir adalah periode yang sangat berat bagi kaum pemuda. Harus bisa menghasilkan uang untuk bekal hari tua nanti. Duh, bayangin umur 20 sampai 30 tahun lalu berapa banyak coba perempuan yang punya pemikiran seperti itu?

Selain pendidikan dan karir, alasan orang-orang memilih waithood adalah kemampuan finansial yang tidak mencukupi. Hal ini membuat sebagian besar orang terpaksa menunda pernikahan, selain itu bnyak juga yang memiliki tanggung jawab untuk merawat orangtua. Yah gimana dong, daripada harus nekat  menikah dan berujung jadi generasi sandwich itu loh yang harus menanggung atau membantu perekonomian keluarga dan orang tua yang membuat tekanan makin tinggi.

Seiring berkembangnya zaman, tekhnologi pun semakin canggih. Internet membuat generasi sekarang lebih melek realita dan pilihan hidup. Jadinya, persepsi mereka berubah kalau ternyata menikah itu bukan kompetensi. Mereka lebih aware terhadap konsekuensi-konsekuensi dari pilihannya yaitu hak, kewajiban dan otoritas tubuhnya.

Salah satu faktor pendorong waithood juga adalah perihal generasi sekarang yang lebih aware dengan isu kesehatan mental. Mereka lebih understood dengan kondisi psikisnya atau efek trauma masa lalu dimana mental health itu tumbuh di keluarga yang kurang harmonis, misalnya kegagalan berumah tangga yang terpaksa dipertahankan demi anak padahal kerjaannya making a war terus.

Alhasil anak semakin ter-pressure, anak-anak yang tumbuh di lingkungan seperti ini akan lebih mengkhawatirkan diri. Menganggap bahwa dirinya memegang beban besar jika terulang kembali nasib rumah tangga kedua orangtuanya dalam pernikahannya. Pemikiran seperti ini akan membuat seseorang merasa takut untuk dapat melangkah.

Seharusnya hal tersebut menjadi peringatan dan beberapa pemuda harus dapat memilih untuk membuang ketakutannya dan mencari seseorang yang terkoneksi serta memiliki energi positif yang sama dengannya. Dengan begitu segala konsekuensi buruk yang mungkin akan terjadi, dapat direduksi dengan mudah, namun harus dipikirkan lebih matang. Singkatnya, menikah memang punya pressure yah. Pusing!!!

Menurut saya, tekanan untuk segera menikah masih tetap ada. Zaman sekarang kebanyakan anak-anak muda lahir dari generasi baby boomer dengan pemikiran yang masih didominasi sikap kolot dan konservatif tentang pernikahan. Untuk beberapa orang, tekanan dari sisi keluarga memang tidak bisa dihindari.

berdasarkan dari apa yang saya ketahui, anak-anak muda sekarang lebih memilih untuk meminta bantuan dari psikolog-psikolog online yang bertebaran di sosial media. Pressure-nya mungkin akan lebih berkurang. Tidak hanya waithood dengan perkara peliknya, trauma memiliki keluarga toxic juga banyak orang-orang yang memutuskan untuk tidak menikah.

Mendengar omongan orang lain juga tidak bakal ada habisnya. Saat kuliah ditanya kapan lulus, sudah melewati wisuda ditanya kapan kerja, sudah masuk dunia kerja ditanya kapan nikah,  setelah menikah kapan ditanya punya anak, perkara melahirkan ditanya normal atau sc. Kadang memang kita perlu hidup bermasa bodo. Daripada menikah dengan seorang yang tidak tepat yang akhirnya hanya bikin hidup tambah berat, yah mending sendirilah hehe.

Sebagai pengingat! Jangan sampai menikah hanya karena kesepian, ditanya kapan nikahnya, jangan sampai karena takut kesepian nantinya atau pengen punya anak karena menganggap anak sebagai aset investasi untuk masa tua nanti. Kenapa? Karena menikah itu is takes everything.

Terlebih bagi kependudukannya di Indonesia, yang memiliki adat serta istiadat kuat. Seperti kata zoya amirin “Menikah dengan satu orang itu menikah dengan seluruh keluarga intinya, menikah dengan seluruh dramanya dan kelebihannya begitupun dengan dia yang menikahi kita dengan seluruh drama kita dengan segala kekurangan dan kelebihannya” So, yah it’s all about choices. *cc

Join The Discussion