“Tellui somperenna lino: “Lempu, Getteng, Ada Tongeng na Appasikua”.
Ungkapan di atas merupakan Pappaseng (pesan-pesan)suku Bugis dalam lontara sebagai salah satu kearifan lokal yang maknanya adalah “ada tiga hal yang menjadi kiat utama merantau (hidup) di dunia yakni; Kejujuran, Keteguhan hati, tutur kata yang berlandaskan kebenaran, dan keikhlasan menerima apa adanya”.
Sikap yang selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan terutama pada masyarakat Bugis Makassar seperti sipa’ Lempuu, Getteng, sibawa Ada Tongeng. Getteng adalah sebagai sesuatu yang tegas dan konsisten, yaitu tindakan yang tidak samar-samar dan bimbang.
Hal ini dimaknai sebagai sikap yang berani dan percaya diri, mengungkapkan apa yang benar dan apa yang salah. Secara jelas, nyata dan meyakinkan apa yang diinginkan dan apa yang tidak diinginan. Jika salah dikatakan salah, jika benar dikatakan benar tanpa memandang kondisi atau kepada siapa hal tersebut diutarakan.
Kedua, Lempu adalah sesuatu prilaku yang lurus, dalam artian mengakui, berkata, ataupun memberi suatu informasi yang sesuai kenyataan. Lempu lawan kata Belle-Pabbelleng atau bohong yang artinya berkata atau memberi informasi yang tidak sesuai dengan kebenaran.
Oleh karena itu, Lempu merupakan sikap seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu ataupun fenomena tertentu dan menceritakan kejadian tersebut tanpa ada perubahan dan modifikasi sedikit pun atau benar-benar sesuai dengan realita yang terjadi.
Ketiga, Ada tongeng berhubungan dengan ucapan yaitu mengatakan yang benar, tidak bohong, tidak ada ucapan rekayasa. Seseorang tidak mungkin berprilaku jujur tanpa disertai ada tongeng. Demikian pula tidak mungkin bersifat tegas dan konsokuen (getteng) tanpa dibangun dengan Lempu dan Ada tongeng.
Inilah yang menjadi falsafah hidup yang diyakini oleh masyarakat Bugis yang tertanam di dalam diri mereka dan diwarisi secara turun-temurun sebagai pedoman hidup. Sebuah kearifan lokal dalam hal ini adalah nilai dan noma-norma yang diyakini dalam suatu masyarakat tidak hanya dihafal secara lisan, tetapi diyakini dalam hati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kearifan lokal mengandung nilai positif dan humanis yang mengakar dalam masyarakat. Sehingga nilai-nilai yang tertanam bisa menjadi alat kontrol sosial dalam mencegah individu maupun kelompok agar tidak menyimpang dan senantiasa merawat kerukunan melalui gotong royong sebagai ciri khas masyarakat Indonesia.
Gotong royong dan tudang sipulung dalam budaya Bugis Makassaratau musyawarah mufakat merupakan kebiasaan yang fundamental yang masih melekat hingga sekarang. Jati diri masyarakat Bugis juga terlihat dari prinsip orang Bugis yang dikenal dengan Assimelereng dalam Pangaderreng. Assimelereng berarti kerukunan, kebersamaan, dan kesehatian dalam masyarakat.
Konsep Assimelereng dapat dimanifestasikan menjadi tiga sipa’ atau sifat, yaitu: Sipakatau (saling menghormati), Sipakainge (saling mengingatkan), dan Sipakalebbi (saling menghargai). Ketiga sifat tersebut menjadi tri dharma dalam falsafah Bugis sebagai pedoman hidup masyarakat Bugis merawat kerukunan dan perdamaian.
Doa yang selalu kita panjatkan dalam hidup senantiasa beujung kepada keselamatan dan perdamaian. Tentu tidak mudah melihat bahwasanya masalah-masalah sosial, agama, hingga ekonomi terus bermunculan yang menggoyahkan naluri manusia dari toleran menjadi intoleran, dari peduli menjadi apatis hingga anarkis hanya demi sebuah ego dan kepentingan.
Sebuah refleksi bagi diri kita untuk kembali kepada falsafah hidup, mengingat pesan moral dan berusaha untuk mewujudkannya. Kenyataan bahwa saat ini arus globalisasia terus bergulir, perkembangan teknologi yang memudahakan kita untuk berkomunikasi dengan tanpa ruang perjumpaan.
Membuat hubungan emosional terkikis karena berkurangnya chemistri hingga rasa empati dan tidak saling menghormati antarsesama. Maka tiga sifat Sipakatau (saling menghormati), Sipakainge (saling mengingatkan), dan Sipakalebbi (saling menghargai) kembali harus ditanamkan dalam diri kita sebagai manusia.
Semua petuah di atas merupakan falsafah orang Bugis dalam menjalani kehidupan dimana kejujuran adalah kunci utama dalam menjalani hidup. Saya fikir di setiap daerah memiliki falsafah atau nilai-nilai yang dipakai dalam menjalani kehidupan.
Oleh karena itu melakukan muhasabah adalah sebuah cara untuk merefresh segala perbuatan yang yang pernah kita lakukan, dengan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal sebagai upaya merawat perdamaian dan kerukunan dalam suatu bangsa.
Nurfadillah Sumber : Berbagai Referensi