free page hit counter
Uncategorized

Radikalisme Agama dalam Konstelasi Geopolitik Global

Radikalisme agama yang disertai kekerasan dan terorisme merupakan wacana kontemporer yang tidak habis-habisnya menjadi perbincangan manusia modern. Krisis multi-dimensi yang dialami manusia modern seringkali ditimpakan pada agama sebagai hulu dan penyebab munculnya krisis tersebut.

Sahabat damai, agama dipandang gagal memenuhi citra dirinya sebagai juru damai kehidupan manusia di bumi. Ekstremismeisme pandangan keagamaan yang menyulut aksi kekerasan dan terorisme acapkali dijadikan bukti nyata potensi destruktif agama yang kemudian menyebabkan penderitaan manusia dan sesamanya.

Anomali di atas seolah mengamini peran paradoks agama. Di satu sisi, agama diyakini sebagai jalan terang menuju kedamaian jiwa, memberi keselamatan, dan menebarkan kasih sayang pada semua makhluk di permukaan bumi. Pada sisi lain, membuktikan betapa tragedi kemanusiaan seringkali berawal dari konflik agama yang kemudian menjadi sumber dan penyebab kehancuran dan kemalangan kehidupan manusia.

Karena itu dapat dimengerti ketika Karl Marx beranggapan bahwa agama adalah candu; ritual adiktif yang lebih menyimbolkan ketidakberdayaan manusia menghadapi realitas di sekelilingnya. Lebih jauh Karen Armstrong mengalisis bahwa fakta-fakta kehidupan kontemporer berkenaan dengan aspek negatif agama merupakan sesuatu yang sudah berlangsung lama, bahkan sejak kehidupan ini ditemukan.

Lebih 14.000 tahun lamanya manusia mencoba mengenali, memahami, dan mendefinisikan agama melalui pemikiran yang dituangkan dalam ide-ide teologis, filosofis, mistis, dan ilmu pengetahuan. Tampak agama sebagai suatu pengembaraan yang menakjubkan, tapi pada saat yang sama menjadi hal yang sangat mengerikan, penuh iri dan kecurigaan.

Pemahaman agama yang kurang dan berhenti pada simbol realitas transenden pada gilirannya akan memunculkan perilaku yang tiranik dan intoleran, melahirkan perilaku yang menyusahkan dan tanpa kasih sayang. Maraknya aksi-aksi kekerasan dan terorisme dengan mengatasnamakan agama menandai terjadinya eskalasi pengaruh radikalisme dalam ranah kehidupan masyarakat saat ini.

Dalam konteks ini, aspek ekonomi-politik yang mewarnai pergeseran lanskap geopolitik dan ketegangan hubungan agama-negara yang terjadi dalam lingkup politik suatu negara, menjadi bagian penting yang berperan mendorong pertumbuhan radikalisme.

 Agama bukan satu-satunya sumber perilaku kekerasan yang dilakukan oleh satu komunitas keagamaan, tapi terdapat fenomena eksternal yang berkontribusi aktif terhadap meluasnya pandangan dan perilaku radikal. Keraguan terhadap kekuatan peran agama akan terciptanya suatu tatanan sosial yang tanpa kekerasan sangat patut dimaklumi.

Ambivalensi peran agama terhadap perdamaian dapat dilacak dalam sejarah panjang munculnya agama-agama besar, bahkan hingga saat ini sekalipun. Kekerasan dan agama sepintas merupakan dua pengertian yang sangat berbeda. Agama dilihat sebagai seperangkat dogma dan aturan yang selalu mendorong para pemeluknya mengamalkan kasih dan menebarkan perdamaian.

Sementara kekerasan adalah wilayah lain yang tidak mungkin disandingkan dengan misi perdamaian yang diemban agama. Pada deklarasi World Conference on Religion and Peace III muncul kesadaran akan peran ganda agama: negatif dan positif. Peran negatif agama akan terciptanya suatu perdamaian diakui sebagai we cannot deny that.

Salah satu isi dari pengakuan tersebut yakni : Praktik dari persekutuan-persekutuan religius kami kadangkadang dalam dunia merupakan kekuatan-kekuatan yang memecah belah. Terlalu sering kami lebih menyesuaikan diri dengan kuasa-kuasa dunia, juga kalau mereka melakukan kesalahan, daripada menentang kuasa tersebut dengan landasan ajaran dari agama-agama kami.

Kami tidak cukup berlaku sebagai pelayan dan pembela-pembela penderitaan dan kami mengeksploitasikan umat manusia. Terlalu sedikit kami berusaha membangun saling pengertian dan persekutuan antar agama pada taraf lokal, yang dari situ prasangka-prasangka yang kuat muncul Ekstremisme antara Legitimasi dan Sublimasi Kekerasan Agama diakui memiliki simbol-simbol kekerasan yang terakomodasi dalam ajaran-ajarannya.

Ajaran agama secara implisit seringkali menyebutkan rangkaian kekerasan dalam rentang wakktu tertentu. Bahkan tidak jarang dapat secara mudah dipahami sebagai pedoman-pedoman moral yang preskriptif. Karena itu, menurut J. B. Banawiratna, “Agama dan Perdamaian untuk memperoleh pemahaman tentang fenomena kekerasan masyarakat agama, secara umum harus dimulai dari pemahaman terhadap “alam” kekerasan yang tersimpul dalam (ajaran) agama.

Juergensmeyer berpandangan bahwa simbol-simbol kekerasan dan peperangan dalam agama sebagai representasi perlawanan terhadap tatanan yang tidak ideal yang terjadi di wilayah kosmik. Perjuangan yang dilakukan umat manusia dan ditumpahkan dalam bentuk peperangan sebetulnya merupakan peniruan terhadap kelompok pasukan kosmik antara kebaikan (aliran putih) dan kejahatan (aliran hitam), kebenaran Ilahi dan kemunkaran.

Sahabat damai, karena itu retorika perang (kekerasan) dalam tradisi keagamaan (martial metaphors) yang terserap oleh pemeluknya dibangun di atas landasan bahasa-bahasa korban (sacrifice) dan tuntutan untuk mati di jalan agama (martyrdom/jihad). Dalam pandangan Arthur Willis – sebagaimana dikutip oleh Juergensmeyer – kehidupan Kristiani adalah kehidupan yang diwarnai peperangan.

Peperangan bukanlah satu peristilahan yang metaforik atau figuran-figuran tertentu yang disampaikan dalam ceramah-ceramah. Tapi peperangan merupakan kenyataan teks yang termuat dalam kitab-kitab suci (literal fact). Dengan demikian, istilah-istilah (karakter) perang seperti senjata atau musuh lebih dimaknai spiritual daripada material.

Sama halnya isi-isi yang terdapat dalam kisah Ramayanan dan Mahabharata merupakan konflik dan intrik militer yang berlangsung lama. Kisah Dipavamsa dan Mahavamsa dalam kisah legenda Sri Lanka menggambarkan kemenangan para raja Budha selama peperangan.

Bertolak dari pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa retorika agama dengan argumen-argumen perang dimaksudkan sebagai penegasan terhadap terwujudnya kehidupan yang mapan (primacy of order). Untuk itu harus dilakukan penaklukan terhadap kemungkinan-kemuingkinan munculnya kekacauan dengan cara menguasai dengan baik seluruh jenis penggunaan kekerasan, karena kekerasan dianggap sebagai sumber dari tatanan yang kacau.

Jadi, keharmonisan yang menjadi titik ideal agama dan gangguan penerapan kekerasan dapat dilihat secara bersama dalam kerangka perang kosmik di atas. Agama harus menghadapi kekerasan bukan karena kekerasan sulit dikendalikan dan harus ditundukkan, tapi karena agama sebagai pernyataan akhir dari kebermaknaan hidup harus selalu mengajarkan keutamaan dan kearifan dalam menghadapi kekacauan.

Karena alasan inilah agama kemudian mengemban tugas menciptakan tatanan yang establish sekaligus menegaskan kebermaknaan hidup sekalipun untuk itu agama kemudian “mensahkan” penggunaan kekerasan.

Misalnya dalam kasus tertentu seperti ritual korban atau para pahlawan agama yang turun dalam peperangan, semua itu dimaksudkan sebagai penyeimbang kekuatan demi tercapainya tatanan yang diidealkan. Uraian di atas menunjukkan bahwa kekerasan pada dirinya tidak pernah dapat dibenarkan. Kekerasan selalu berarti jahat, kriminal, dan amoral.

Hanya letak persoalannya bukan pada perspektif ini, agama dan kekerasan menjadi related ketika dikaitkan dengan pertimbangan etiko-religius. Dengan demikian, “dalam keadaan tertentu” agama dapat memahami penggunaan kekerasan. Menurut St. Sunardi, kekerasan dapat dibenarkan sejauh: (a) untuk menghindari eskalasi kekerasan yang lebih luas, (b) untuk menggantikan “belas kasih” yang sia-sia bahkan dapat berakibat sebaliknya, (c) sifatnya sementara, (d) untuk pembebasan.

Dalam tahap perkembangan selanjutnya, bahasa-bahasa perang kosmik yang terdapat dalam teks-teks keagamaan tersebut seringkali diekstremismekan untuk tujuan-tujuan tertentu yang berjangka pendek. Sublimasi kekerasan dalam agama justru menjadi alat strategis untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.

Hal ini dimungkinkan mengingat agama memiliki kemampuan untuk memberi sanksi moral terhadap penerapan kekerasan, sementara kekerasan merupakan kekuatan potensial yang dapat melahirkan entitas-entitas non-legal. Dari sini agama menjadi sarana politik yang sangat potensial.

Persoalannya kemudian, mengapa agama dapat membuat penganutnya berani memasuki wilayah sakral dari kehidupan? Secara subtil dapat dikatakan bahwa telah terjadi konversi dari absolutisme vertikal menjadi absolutisme horisontal.

Ekstremismeisme penghayatan akan yang Ilahi, Sang Penentu mati-hidup manusia, pada kenyataannya dapat menghasilkan religiusitas yang fatalistikdeterministik yang pada gilirannya seseorang atau sekelompok umat beragama merasa memiliki legitimasi mewakili Yang Absolut dalam menentukan hidup-mati seseorang.

Bentuk konkritnya, keberagamaan fatalistik ini dapat kita lihat pada kecenderungan kelompok (keagamaan) tertentu untuk meniadakan kelompok lain, bahkan secara fisik sekalipun. Absolutisme horisontal yang berupa kekerasan sebetulnya sangat bertentangan dengan nilai ideal moral ajaran agama yang berpusat pada Sang Pencipta yang memiliki sifat Rahman dan Rahim.

Tapi pada sisi lain, secara normatif kekerasan inhern dan tersublimasi dalam agama dimana setiap saat kenyataan tersebut bisa saja dieksploitir sebagai satu bentuk kekuatan politik. disadari bahwa tuntutan politik tidak sepenuhnya didukung oleh kekuatan yang datangnya dari kelompok-kelompok luar.

karena itu kemudian dibutuhkan bangunan-bangunan legitimasi sebagai basis kekuatan politiknya, termasuk legitimasi agama. Dengan demikian, legitimasi penggunaan kekerasan sangat terkait dengan soal legitimasi penggunaan kekuasaan (power struggle). Kenyataan di atas semakin meyakinkan kita akan adanya kecenderungan masyarakat untuk melakukan politisasi agama.

Kondisi ini akan membawa agama pada propoganda-propaganda yang bahkan bertentangan dengan kebaikan dan kesucian hidup, melawan fitrahnya sendiri. Legitimasi semacam inilah yang pada akhirnya melahirkan devaluasi nilai-nilai luhur agama.

Devaluasi agama terjadi ketika ekstremisme yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan universal secara subtil dibenarkan dan dimuliakan. Devaluasi agama juga terjadi ketika politik meminjam tangan agama dan agama meminjam tangan politik untuk meraih tujuan masing-masing.

Agama keluar dari wilayah sakralnya dan terjebak dalam kubangan kepentingan-kepentingan politkik yang rumit, sesaat, dan duniawi. Devaluasi agama dilakukan bukan oleh kelompok-kelompok sekular tapi oleh politisi agama. Hal ini tidak hanya terjadi dalam dunia Islam, tapi lebih merupakan fenomena global.

Penggunaan agama untuk tujuan-tujuan politik lebih jauh dapat diamati di semua agama besar dunia, seperti Hinduisme, Buddhisme, Confusianisme, Kristen dan Yahudi. Dalam konteks pluralisme agama, devaluasi agama bergerak sebagai ekspresi ideologi politik yaitu konsepsi dunia yang khusus berdasarkan agama dengan cara membangun argumen-argumen untuk menarik garis-garis kesalahan di antara kelompok yang bersaing.

Dalam kapasitas ini, agama menjadi ideologi yang cenderung mendorong terwujudnya konflik, bukan sebagai ide-ide strategis untuk menciptakan kesepahaman dan perdamaian antar komunitas yang berbeda.

 Konon jauh sebelum berakhirnya Perang Dingin, para sarjana telah mengakui politisasi agama sebagai fenomena global yang baru. Bassam Tibi melihat bahwa fenomena tersebut mengarah pada proses terjadinya “benturan antar peradaban”.

Politisai agama lebih mengandalkan isu-isu fragmentatif dan primordial yang berkutat pada persoalan-persoalan ideologi politik. Dari sini muncul penguatan-penguatan lokal sebagai tindakan resistensi dan ekspresi terhadap fenomena global.

Sekalipun mereka beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan – misalnya dengan cara menganut paham-paham fundamentalis – sebagai satu bentuk jawaban dan respon mereka, tapi menurut Bassam Tibi hal itu bukan merupakan solusi.

Bahkan di situ sudah terjadi kontra produksi antara agama sebagai etika moral dengan agama sebagai kepentingan politik. Karena itu dianggap penting melakukan pembedaan antara agama sebagai suatu konstruk peradaban dan agama sebagai ideologi politik.

Ryn Manist

Referensi : Berbagai Sumber

Join The Discussion