free page hit counter
Opini

Membendung Arus Radikalisme di Lingkungan Kampus

Langkah Antisipatif Pencegahan Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Kerentanan kaum muda Indonesia, khususnya pelajar dan mahasiswa, terhadap radikalisme, ekstremisme, dan terorisme berkait erat dengan kegamangan mereka menghadapi problemproblem struktural dan ketidakpastian masa depan.

Ekspansi teknologi komunikasi, yang dipicu penemuan internet, meruntuhkan jarak-jarak spasial dan sosial yang akhirnya melipatgandakan kegamangan tersebut. Dampak paling nyata dari perubahan itu tentu saja dirasakan oleh generasi milenial.

Lahir dalam rentang 25 tahun terakhir, mereka tumbuh dan besar dalam dominasi budaya digital yang erat bersinggungan dengan penyebaran pola konsumsi dan gaya hidup instan. generasi ini terbiasa menyederhanakan gambaran tentang dunia yang begitu kompleks ke dalam layar smartphone yang dapat diklik dengan mudah untuk menemukan apapun yang dibutuhkan.

Kefrustasian dapat dengan mudah menghinggapi ketika dunia virtual kerap berbeda dengan dunia nyata penuh paradoks yang mereka hadapi. Situasi serba tidak pasti generasi milenial berhadapan langsung dengan massifnya pengaruh ideology.

Ideologi islamis yang datang menawarkan harapan dan mimpi tentang perubahan dan masa depan yang lebih bersinar dibangun di atas narasi yang menekan pentingnya semangat kembali kepada dasar-dasar fundamental Islam yang ternyata memiliki arti yang menyesatkan.

Menurut data yang dirilis Europol, di antara 706 Aktivis radikal yang ditangkap di Eropa pada tahun 2006, lebih dari 2/3 (lebih darin 470 orang) terdiri atas anak muda berusia 26-41 tahun. Di beberapa negara di benua tersebut, terutama Inggris, terdapat sejumlah pelaku dengan usia yang jauh lebih muda, yakni antara 17 dan 19 tahun.

Hal ini mengindikasikan bahwa ideologi radikalisme memiliki daya pesona yang cukup kuat bagi anak muda, tidak hanya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju.Kepenganutan kamum muda terhadap ideologi radikalisme merupakan isu yang harus dicermati di tengah bonus demografi yang tengah berlangsung di negeri ini.

Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia punya tanggung jawab global untuk memastikan bahwa negara ini siap membendung pengaruh ekstrem kelompok ISIS yang telah menyalahgunakan konsepsi agama untuk melegitimasi kegiatan teror mereka di tengah upaya negara-negara untuk menopang stabilitas dunia.

Langkah Pemerintah Indonesia sejauh ini untuk mengontrol persebaran gerakan ISIS dengan dukungan dari ormas keagamaan sangat perlu diapresiasi dengan harapan akan mampu memastikan Indonesia tetap aman dan menjadi panutan bagi komunitas Muslim dunia yang sedang mendapat ancaman serupa gerak bebas ISIS.

Dunia pendidikan termasuk dilingkungan kampus, selain sebagai tempat menjadi ruang penempaan diri yang sangat potensial bagi lahirnya pribadi-pribadi unggul yang bermoral, beradab, cinta damai dan religius berbasis nilai kemanusiaan yang holistik, komprehensif juga terbukti menjadi ‘ruang nyaman’ tumbuhnya benih ideologi radikal, termasuk gerakan ISIS dan sekelompok gerakan kiri lainnya.

Pentingnya Pendalaman dan pemahaman aspek keagamaan tentang perdamaian, kerukunan dan kemanusiaan, yang tentu saja bukan sekedar berbasis intelektualitas-kognitif, melainkan lebih menekankan aspek “penghayatan” (afektif) dan “pengamalan” (psikomotorik).

Selain itu hadirnya penguatan moralitas (berbudi pekerti) sebagai praktik (amal), bukan sekedar intelektualitas, mengingat secara substansi, tidak ada satupun ajaran agama yang mengesahkan “kekerasan” dalam menyelesaikan konflik juga penting.

Pemahaman agama hanya dapat dipahami dalam kacamata orang-orang yang beriman berdasarkan praktik iman yang benar (sebagaimana kritik Nietzsche kepada agama). Pemahamannya adalah kesakralan agama mengontrol dan membentuk aspek yang profan.

Sebagamana agama yang benar adalah agama yang humanis, progresif, dan responsif dalam kehidupan pengikutnya. Ia tidak hanya menjadi sesuatu yang bersifat historis dan romantis, namun juga menantang dunia ke depan dengan penjelasan-penjelasan yang tidak gagap.

Selain itu perlunya indikator keberhasilan pendidikan berbasis nilai perdamaian dalam konteks ikhtiar mengeliminasi konflik sosialkeagamaan sesungguhnya bermula dari tumbuhnya kesediaan untuk ‘menghargai nilai.

Hal senada juga dikatakan oleh Carl Smith, seorang cendikiawan teologi, bahwa gereja pada dasarnya tidak perlu takut dengan perkembangan gagasan sekuler yang mulai berlimpah, dan dipungut oleh umatnya.

Permasalahan politik harus dilihat dalam kacamata independen, sebagai sebuah kajian ilmu yang mengatur perilaku umat manusia, memaknai konflik. Namun ia juga tidak kehilangan akar teologisnya. Politik dan agama tidaklah contradictio in terminis, apalagi contradictio in re. Smith menyebutkan bahwa politik hanyalah sisi sekularisme agama

Selanjutnya, langkah solutif berikutnya adalah menyangkut bagaimana agama (Islam) dikomunikasikan dan diejawantahkan. Dalam hal ini dibutuhkan suatu reorientasi terhadap pola-pola keberagamaan umat. Reorientasi diarahkan pada pencarian basis kesadaran yang toleran, arif, dan empatik terhadap keragaman seraya menghindarkan setiap pengeajawantahannya dari cara-cara kekerasan.

Untuk itu, satu hal mendesak yang patut dilangsungkan adalah penumbuhan inklusivisme sebagai pengkondisian ke arah penguatan nilai pluralisme dalam keberagamaan umat. Dalam kerangka pengayaan kelimuan Islam, penumbuhan inklusivisme itu diupayakan melalui reinterpretasi doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sejauh ini dimainkan sebagai dalih eksklusivitas dan tindak-tindak opresif.

Sambil terus mendialogkan Islam secara kritis dengan aneka gagasan modernitas seperti HAM, pluralisme, multikulturalisme, gender, dan demokrasi perlu dibutuhkan kesediaan dan juga keberanian untuk secara analitiskritis memikir ulang doktrin-doktrin Islam itu, memaknainya ulang secara progresif-kontekstual sejalan dengan dinamika ruang dan waktu.

Ryn Manist Referensi : Berbagai Sumber

Join The Discussion