“MUDIK” adalah istilah pulang kampung, menjadi tradisi yang mengurat mengakar, dari masyarakat biasa, pengusaha sampai para pejabat negara. Semangat ingin segera berkumpul dengan orang tercinta tidak menghiraukan lagi berbagai kesulitan yang dijumpai selama perjalanan.
Ketika sampai di kampung halaman, perjuangan dan rasa lelah yang dilalui saat dalam perjalanan tidak nampak lagi, hanya ada raut kebahagiaan di wajah kita. Mengapa tidak? Sudah lama dinantikan momen berkumpul, bertemu dengan orang tua, saudara-saudara, dan para tetangga seakan sebuah reuni besar tahunan.
Sahabat damai setelah sekian lama merantau ke kota orang dan kembali ke kampung halaman, maka datangnyahari raya menjadi momen yang begitu membahagiakan karena akan ada libur panjang yang dapat digunakan untuk bersilaturahim dengan sanak keluarga.
Islam menyeruhkan agar kita senantiasa menjalin hubungan silaturrahim. Sebagamana firman Allah SWT: “Hai sekalian manusia, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (Qs. AlNisa/4: 1).
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya, dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim.” (HR. Bukhari). Hadist tersebut mengatakan Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan agar manusia senantiasa saling bersilaturrahim satu sama lainnya.
Selain itu, Rasulullah SAW menyatakan orang yang bersilaturrahim akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Karena itu, hendaknya mudik disertai dengan niat untuk bersilaturrahim dengan keluarga, sahabat dan kerabat agar mudik membawa keberkahan kepada kita semua.
Di samping itu, mudik juga menjadi ajang untuk bermaaf-maafan sesama anak adam juga terkadang dijadikan sebagai ajang uji kesuksesan. Para pemudik biasanya sangat bangga jika mudik lebaran dapat memperlihatkan kesuksesannya kepada masyarakat, misalnya sudah dapat membeli kendaraan, seperti motor atau mobil atau barang-barang berharga lainnya.
Kebanggaan didapat manakala masyarakat sudah mengakuinya bahwa yang bersangkutan sukses di perantauan. Karena itu, himbauan-himbauan pemerintah agar para pemudik menggunakan angkutan umum tidak menggunakan sepeda motor tidak dihiraukan.
Para pemudik menggunakan sepeda motor, di samping dianggap praktis dan nantinya diperlukan untuk silaturrahim di kampung, juga sebagai ajang untuk memperlihatkan bahwa dirinya sudah mampu membeli kendaraan bermotor.
Semoga ini tidak menjadi kebiasaan yang terus dibiasakan yah sahabat damai. Sisi negatif lainnya, mudik seringali mendorong sikap konsumerisme. Banyak pemudik yang membelanjakan uangnya dengan sangat mudah, bahkan kadang-kadang untuk keperluan yang tidak mendesak.
Ada yang menjadikan momen mudik seolah-olah untuk euphoria membelanjakan uangnya setelah sekian lama merantau. Di sisi lain juga para pedagang menanawarkan dagangannya dengan sangat menarik, dari pakaian sampai makanan, bahkan kendaraan, sehingga para pemudik terpancing untuk berbelanja.
Akibatnya kadang-kadang uang yang dicari setahun lamanya hanya habis untuk mudik. Sisi negatif ini perlu dikurangi atau bahkan kalau bisa dihilangkan sama sekali agar mudik dapat memberikan makna yang berarti dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Sebab sisi negatif yang pertama mengarah kepada sifat sombong dan pamer harta kepada orang lain. Sifat ini bisa menjadikan seseorang lalai kepada Allah SWT. Allah SWT melarang hamba-hambanya bersikap sombong karena harta sampai melalaikan kepada Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (Qs. Al-Takatssur/102: 1-3)
Karena itu, andaipun para pemudik tidak dapat dihindari harus membawa hasil jerih payahnya diperantauan, baik berupa kendaraan ataupun harta kekayaan lainnya harus diniati dalam hatinya sebagai mensyukuri nikmat (tahadduts bin ni’mah) sebagaimana perintah Allah SWT, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan” (Qs. Al-Dhuha/93: 11).
Sahabat damai, para pemudik seharusnya dapat mengendalikan diri agar tidak terjebak pada budaya konsumerisme. Para pemudik harus ingat masih, ada hari esok yang memerlukan biaya-biaya sehingga harta yang diperoleh seharusnya tidak dihabiskan pada saat mudik.
Allah SWT telah mengingatkan kita; “Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (Qs. Al-A’raf/7: 31).
Mudik akan memiliki makna religius dan akan memperkuat spiritualitas jika kita melakukannya tidak sekedar rutinitas tahunan tetapi disertai niat untuk beribadah kepada Allah SWT yaitu untuk bersilaturrahim, bermaaf-maafan sesama anak adam, menghindari konsumerisme dan bermegah-megahan dengan harta.
Sahabat damai, demikianlah budaya mudik dan hiruk pikuknya yang terkadang menjadikan para pemudik salah kaprah dengan arti dan tujuan mudik yang seharusnya. Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang diridhaiNya agar bisa memaknai arti mudik yang sebenar-benarnya.
Oia, sahabat damai yang mau mudik tetap semangat dan hati-hati dijalan yah. (Ryn Manist)
Berbagai sumber referensi