Sebagai manusia yang tak luput dari salah dan khilaf, intropeksi diri adalah salah satu jalan ninja yang sering kita lakukan sebab dengan melakukan intropeksi setiap tindakan dan perbuatan akan memudahkan untuk menyadari dan memotivasi diri agar kembali memperbaiki semuanya.
Biasanya kita melakukan perenungan yang panjang dan kadang bertanya-tanya dalam hati, siapa sebenarnya diri ini dan apa tugas serta tanggung jawab kita hidup didunia ini?
Sahabat damai, terkadang di luar bawah sadar sering berkata, “saya adalah orang terhormat, saya adalah pimpinan perusahaan, bos di kantor, politisi senior, saya ini dan itu dan masih banyak lagi, namun pernahkah bertanya dalam batin tentang adanya kebesaran Tuhan?”.
Jika pertanyaan itu diajukan dalam ranah spiritual, mungkin saja tidak ada yang dapat memastikan dan mampu mendefinisikannya dengan sempurna. Kenapa? siapa yang bisa menjawab bagaimana tingkat ketakwaannya? siapa pula yang mampu memastikan kualitas imannya. Karena takwa dan iman adalah unsur spiritual yang tidak akan pernah diketahui dan diukur dengan instrumen fisik atau matematis.
Lain halnya dengan definsi fisik pada diri seseorang akan sangat mudah, seperti berapa tinggi dan berat badannya, berapa kekayaannya, apa jabatannya, dan lain-lain. dalam mendefinisikan tentang diri, hal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita menemukan hakikat kedirian itu sendiri? Sebab bisa saja masih ada diantara kita yang belum pasti mengenal dirinya sendiri.
Dalam sebuah hadist yang sangat terkenal: “barang siapa yang memahami hakikat dirinya, maka dia akan memahami Tuhan-Nya”. Maksudnya adalah pemahaman diri menjadi pintu utama untuk memahami Tuhannya. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya menuliskan bahwa manusia terdiri dari tiga sifat.
Pertama, sifat bahimiyah (kebinatangan) artinya adalah binatang memiliki tugas hidup, makan, minum, tidur, berhubungan seks dengan lawan jenisnya, bertengkar dengan sesamanya. Tugas-tugas hidupnya terkait dengan unsur jasmaniah, fisikal, yang dibantu oleh daya insting-nya. Jika keseharian kita hanya mampu melakukan seperti sifat yang dimiliki oleh binatang, maka hidup ini persis seperti binatang.
Tidak memiliki makna apapun kecuali hanya kesenangan material. Kedua, sifat syaithȃniyah (setan). Setan memiliki pekerjaan sehari-hari dengan menipu, dusta, fitnah, mengadu domba, hasad, dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan kebiasaan binatang yang bersifat fisik, setan bermain pada wilayah perilaku abstrak nonfisik.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah kita selama ini telah melakukan atau bahkan membiasakan diri seperti perilaku-perilaku itu?, jika iya, maka kita bisa disebut sebagai orang yang berperilaku seperti setan. Dalam Qs. Al-Nas 114: 4-6: “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa tersembunyi. Yang membisikkan(kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.”
Ketiga, sifat malakutiyah (malaikat), “Malaikat adalah makhluk Allah yang paling taat. Mereka tidak dikaruniai nafsu. Maka tugas utama mereka adalah menjalankan apa yang Allah perintahkan, dan menjauhi apa yang Allah larang” (Qs: Al-Tahrim 66: 6).
Malaikat adalah makhluk spiritual, makhluk yang terbuat dari unsurunsur kebaikan. Maka ketika manusia mampu bersikap dan berperilaku seperti layaknya malaikat, maka akan terpancar dalam hidupnya sebagai orang yang memiliki cahaya kebaikan dan spiritual yang tinggi.
Sahabat damai, setelah membaca pernyataan tersebut apakah terbesit pertanyaan, kita masuk kategori manusia yang mana? Dominan sifat kebinatangan , setan dan malaikat atau mungkin saja campuran ketiganya.
Dalam pandangan psikolog muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, bahwa di dalam diri manusia terdapat daya-daya jiwa. Setiap hari daya-daya jiwa itu terus berdinamika untuk saling menguasai. Kekuatan akal, hati, dan nafsu akan saling mempengaruhi, sehingga tergambar dalam sikap dan perilaku, termasuk membentuk dalam level keyakinan.
Oleh karena itu, sebagai makhluk Tuhan yang dikarunia tiga kekuatan daya jiwa, yaitu akal, hati, dan nafsu mari kita jadikan sebagai modal penting untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika kita mampu memahami hakikat diri kita, bagaimana kita mampu mengendalikan kehendak nafsu yang cenderung pada unsur-unsur material (kejahatan atau kemaksiatan).
Sahabat damai, maka kita akan menjadi diri yang bersih, suci, dan mampu teraktualisasi dalam sikap dan perilaku terpuji. Cara yang paling tepat untuk menemukan diri dan Tuhan adalah ketika kita mampu merenungi daya jiwa diri kita dalam keheningan, apalagi di bulan Ramadhan yang benuh berkah ini.
Semoga kita dipenuhi dengan ke istiqomahan untuk terus menemukan tuhan dan diri kita. (ryn manist).
Sumber: Berbagai referensi