free page hit counter
Opini

Mengenal Sultan Adji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur

Sultan Adji Muhammad Idris lahir di Pemarangan Jembayan tahun 1697 M, ia adalah putra Pangeran Anum Panji Mendapa, Sultan Kutai Kertanegara ke- 13 dari permaisuri Adji Ratu. Beliau merupakan Sultan Kutai Kertanegara ke-14.

Kehidupan Sultan Adji Muhammad Idris

Sultan Adji Muhammad Idris memiliki dua istri yaitu; Seri Paduka Baginda Ratu Permaisuri Andi Rianjeng atau Andin Duyah gelar I Doya Aji Putri Agung, Putri dari Andi Petta To Sibengareng Bin Andi La Maddukelleng dari raja Wajo (Sulawesi Selatan) dengan istri Adji Doyah Binti Sultan Sepuh Alamsyah I dari Paser dan Seri Paduka Baginda Ratu Mahadewi Dayang Sungka Binti Tan Panjang Bin Adipati Maharaja Marga Nata Kusuma yang merupakan Adipati Kerajaan Kutai Mulawarman di wilayah Muara Gelumbang Ma-Bengkal pada abad ke -14.

Sultan Adji Muhammad Idris di  di anugerahi 5 anak, 3 anak dari istri tanah bugis yakni; Aji Putri Intan alias Aji Kengsan gelar Adji Putri Intan gelar Petta Laburanti digilirang Paniki Wajo,  Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihudin alias Meruhum Aji Kembang Mawar menjadi Sultan ke 15 di Kesultanan Kutai Kartanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Pamerangan Jembayan ke Tepian Pandan Tenggarong, dan sibungsu Aji Pangeran Berajanata.

Sementara anak dari baginda ratu Mahadewi Dayang Sungka melahirkan 2 anak yakni; Aji Pangeran Megan gelar Aji Pangeran Maharaja Nata Kusuma menjadi Adipati di Muara Gelumbang dan Muara Bengkal. Putra kedua yaitu Aji Pangeran Amjah Mas Aria Gelar Aji Pangeran Sri Bangun I Menjadi Adipati Kota Bangun inilah disebut dengan Raja Seri Bangun.

Sepanjang perjalanan hidupnya, Sultan Adji Muhammad Idris dikenal sebagai tokoh yang sangat penting dalam sejarah perjuangan kerajaan Kutai Kartanegara. Ia adalah satu-satunya raja dan pemimpin dari kerajaan Kutai yang berjuang dengan gigih, militan dan tanpa kompromi mengusir penjajah VOC Belanda .

Sultan Adji Muhammad Idris merupakan seorang pejuang yang tidak kenal menyerah dalam melawan imperialisme Belanda. Kehadiran Belanda sejak abad ke XVI yang memberikan tekanan psikis dan materil terhadap kerajaan-kerajaan taklukannya memicu timbulnya semangat juang di hati Sultan Adji Muhammad Idris.

Diangkat Sebagai Pahlawan Nasional dan Keberadaannya di Tanah Bugis

Di era pemerintahannya pada abad ke -14, ia bersama pengikutnya berangkat ke daerah Wajo untuk membantu dengan sukarela sultan La Maddukelleng yang tak lain  adalah mertuanya dalam menentang VOC Belanda di kerajaan Wajo. Sementara kepemimpinan di kutai kartanegara Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh Dewan Perwalian  dipindahkan ke Adji Kado kemenakan dari raja Pantun yang bernama Maharaja Dipati Sura Mendasar.

Dibawah pimpinan Sultan Adji Muhammad Idris dengan kekayaan yang dimiliki kerajaan Kutai. Kutai membeli senjata dan mesiu yang diselundupkan dari Brunei, Solok, dan Mindanau.  Persenjataan tersebut merupakan persiapan untuk memerangi VOC Belanda sehingga masa kekuasaan Sultan Adji Muhammad Idris, berkat kekuasaan dan pengaruh diplomasi dan kewibawaannya ia berhasil mengkoordinir kekuatan pasukan tempur yang direkrutnya dari pejuang Kutai , Pasir, Sambaliung, dan Pangatan.

Sultan Adji Muhammad Idris dikatakan juga sebagai Raja yang membantu  dalam pengembangan agama Islam didalam kawasan kerajaan. Peran beliau adalah:

‌Merubah Status dari Kerajaan Menjadi Kesultanan. Pemimpin pertama Kerajaan Kutai Kartanegara yang memakai gelar “Sultan” adalah Adji Muhammad Idris. Karena pada masa Raja-raja sebelumnya, pengaruh Islam sudah sangat kuat. Indikator kuatnya pengaruh Islam saat itu adalah dengan digunakannya syariat Islam pada Undang-undang Dasar Kerajaan yang dikenal dengan nama “Panji Selaten” dan “Undang-undang Baraja Nanti”. 

Kedua Undang-undang tersebut berisi peraturan yang disandarkan pada Hukum Islam Sebutan Kesultanan memang sudah sepantasnya diberikan kepada Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, mengingat Islam memang memegang peranan penting dalam pembentukan fondasi hukum dan pemerintahan.

‌Menjadi Panglima Perang. Sekembalinya Sultan Adji Muhammad Idris Ke Kutai, ia mengambil pucuk pemerintahan kerajaan Kutai dari Sultan Adji Kado. Ia memerintah dengan adil dan bijak, Rakyat hidup sejahtera dan bahagia. Sultan Adji memimpin Kerajaan Paser cukup lama hingga datang Utusan dari kerajaan Paniki bernama La Palebbai Daeng Mannaga.

Utusan ini dikirim oleh Petta Sebengareng untuk menyampaikan berita agar Sultan segera berangkat ke Kerajaan Paniki sebab disana sedang berkecamuk peperangan besar. Di tanah Bugis telah berkecamuk peperangan dahsyat antara kerajaan Bone melawan kerajaan Paniki, Soppeng dan Mallusetasi Sidenreng.

Pimpinan dari lima kerajaan itu ialah Laparussi Petta Buranti, namun panglima perang ini telah terluka parah sehingga dibutuhkan panglima baru untuk memimpin perang.Hasil dari musyawarah lima Raja-raja yang ikut berperang memutuskan untuk memilih Sutan Adji Muhammad Idris sebagai menantu dari Petta Seberengareng untuk menjadi panglima perang menggantikan Laparussi Petta Buranti. Hal ini dikarenakan Sultan Adji Muhammad Idris dianggap cukup kuat dan mampu untuk memimpin peperangan.

Setelah mendengar laporan dari utusan kerajaan Paniki maka Sultan Adji Muhammad Idris menerima tawaran tersebut dan bersiap untuk berangkat ke kerajaan Paniki dengan menggunakan perahu layar, perbekalan dibawa secukupnya, serta membawa pengiring dan pasukan yang kuat untuk menghadapi perang. Dalam perajalanan ke Tanah Bugis Sultan Adji Muhammad Idris tidak didampingi sang istri hal ini dikarenakan permaisurinya sedang hamil besar.

 Laskar gabungan lima kerajaan di tanah Bugis mendapat semangat baru dalam perjuangannya melawan Bone setelah kedatangan Sultan Adji Muhammad Idris beserta delapan puluh pasukannya yang terdiri dari empat puluh pemagasari.  Dibawah komando Sultan Adji Muhammad Idris laskar pejuang melanjutkan peperangannya melawan kerajaan Bone.

Dalam setiap pertempuran yang dilakukan kemenangan selalu berpihak pada Sultan Adji Muhammad Idris, hal ini mengakibatkan kerajaan Bone menyerah dan mengadakan perjanjian perdamaian. Hal ini kemudian disetujui oleh lima raja-raja yang bersekutu karena mereka memang tidak menghendaki permusuhan.

Perjanjian perdamaian pun dilakukan ditandai dengan bedil senapan dan meriam yang tak lagi meletus serta keris telah dimasukkan kembali ke sarungnya. Masing-masing anggota laskar pulang dengan perasaan gembira. Hal lain terjadi pada Sultan Adji Muhammad Idris sebab ia tak dapat pulang ke Kutai dengan segera sebab ia belum mendapat izin dari mertuanya dengan alasan LaMaddukelleng masih ingin berkumpul lebih lama dengan Sultan Adji Muhammad Idris.

Sultan Adji Muhammad Idris yang gigih melawan penjajah kolonialis Belanda di awal abad XVIII cukup mendukung untuk ditetapkan sebagai seorang Pahlawan Nasional seperti  yang telah dianugerahkan sebelumnya kepada La Maddukelleng, seorang putra Indonesia asal Kabupaten Wajo. Oleh karena fakta perjuangan tersebut Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, serta Pemerintah Kabupaten Wajo mengusulkan Sultan Adji Muhammad Idris sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana yang  disandang oleh mertuanya La Maddukelleng raja wajo.

Sultan Adji Muhammad Idris dikenal sebagai tokoh yang sangat penting  dalam sejarah perjuangan kerajaan Kutai Kartanegara. Ia adalah satu-satunya raja dan pemimpin dari kerajaan Kutai yang berjuang dengan gigih, militan dan tanpa  kompromi mengusir penjajah Belanda. Dibawah pimpinan Sultan Adji Muhammad Idris dengan kekayaan yang dimiliki kerajaan Kutai.

Kutai membeli senjata dan mesiu yang diselundupkan dari Brunei, Solok, dan Mindanau. Persenjataan tersebut merupakan persiapan untuk memerangi VOC Belanda. Pada masa kekuasaan Sultan Adji Muhammad Idris, berkat kekuasaan dan pengaruh diplomasi dan kewibawaannya ia berhasil mengkoordinir kekuatan pasukan tempur yang direkrutnya dari pejuang Kutai , Pasir, Sambaliung, dan Pangatan. Pasukan kekuatan tersebut berkekuatan kurang lebih 800 orang termasuk perwira dan prajurit Sepangan Raja Kesultanan Kutai.

Keberadaan Sultan Adji Muhammad Idris di tanah Bugis ternyata menjadi ancaman tersendiri untuk kerajaan Gowa Tallo. Mereka menganggap La Maddukelleng bisa saja menjadikan Sultan Adji Muhammad Idris sebagai senjata untuk melawan kerajaan Gowa Tallo. Untuk mencegah hal ini maka kerajaan

Gowa-Tallo mengatur siasat untuk membunuh Sultan Adji Muhammad Idris. Adji Kado sebagai raja sementara yang memegang tampuk kekuasaan kerajaan Kutai juga merasa tak senang dengan Sultan Adji Muhammad Idris, maka dari itu ia mengirim surat rahasia kepada raja Gowa Tallo agar kiranya membunuh Sultan Adji Muhammad Idris agar ia tak dilengserkan dari jabatannya saat ini sebagai raja pengganti.

Raja Gowa Tallo kemudian memerintahkan pasukannya untuk membuat lubang besar sedalam sepuluh meter dengan lebar lima meter di hutan tempat berburu dimana Sultan Adji Muhammad Idris dan pengiring-pengiringnya yang selalu berburu rusa. Didalam lubang itu ditancapkan bambu-bambu dan besi runcing yang mendongak ke atas. Kemudian lubang itu ditutupi dengan ranting-ranting dengan lapisan atasnya daun-daun hijau seolah-olah daun-daun hijau itu baru saja jatuh dari ranting pohon sekitar.

Akhir Hayat Sultan Adji

Sultan Adji Muhammad Idris seperti biasa melakukan perburuan dengan beberapa pengiringnya yang berada dibelakang. Sultan Adji Muhammad Idris menunggang kuda sehingga bisa mengejar buruannya. Seekor menjangan menjadi hewan buruannya kala itu. Para pengiring dan anjing pemburu berteriak sorak sorai menemani perburuan Sultan Adji Muhammad Idris, ia terus memacu kudanya dengan sangat kencang demi mengejar rusa buruannya hingga pengiringnya tertinggal jauh dibelakang.

Sultan Adji Muhammad Idris tak lagi terlihat sebab ia melaju cukup kencang, para pengiringnya kemudian mempercepat laju kudanya hingga menemukan sebuah lubang besar dan memeriksanya. Salah seorang prajurit kemudian menarik kuda yang ditunggangi oleh Sultan Adji Muhammad Idris dan turun ke dasar lubang. Betapa kagetnya mereka ketika menjumpai tubuh sang Sultan Adji Muhammad Idris telah terkoyak habis karena tusukan bambu dan besi runcing didalam lubang. Jebakan lubang tersebut benar-benar sempurna menjebak raja kutai ke -14 itu.

Para pengiring pun berusaha mengangkat tubuh Sultan Adji Muhammad Idris ke atas permukaan tanah, ia merintih kesakitan darah tak henti-hentinya keluar dari tubuhnya. Wajah Sultan Adji Muhammad Idris semakin pucat pasi. Ia kemudian memanggil La Barru seorang kepercayaannya dengan suara lemah dan terputus-putus dan menyuruhnya untuk mengambil keris Burit Kang dipinggangnya dan ikat kepala Sultan Adji Muhammad Idris, ia berpesan bahwa keris Burit Kang harus dibungkus dengan ikat kepala Sultan Adji Muhammad Idris agar  disampaikan kepada permaisurinya Adji Putri Agung ditanah Kutai.

Ia berkata bahwa barang siapa ingin menjadi raja di Kutai ia harus memiliki keris Burit Kang, Kalung Uncal dan Kalung Siwa serta kura-kura emas yang berada dalam badannya, diserahkan kepada puteranya yang berhak menjadi raja.

Nasib na’as Sultan Adji Muhammad Idris tahun 1739 menemui ajalnya, Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat Sultan Adji Muhammad Idris menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia dimakamkan di daerah Peniki sedangkan para pengikutnya tidak ingin kembali ke Kutai dan tinggal menetap di Kerajaan Wajo sebab ingin merawat Makam sang Raja yang telah mangkat.

Para pengikut Sultan Adji Muhammad Idris kemudian diberikan sebidang tanah untuk dihuni dan membuat sebuah perkampungan. Kepergian Sultan Adji Muhammad Idris yang begitu tragis membawa kesedihan yang mendalam bagi rakyat Peneki dan rakyat kerajaan Bugis lainnya seperti Soppeng, Mullesetasi, dan Sidenreng. Dengan penuh hormat rakyat kelima kerajaan itu menyambut almarhum Petta Arung Kute Petta Matinro Ri Kawanne dan menguburnya dengan perasaan penuh haru.

Sepeninggal Sultan Adji Muhammad Idris, tahta kerajaan direbut oleh Adji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan. Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Adji Imbut yang masih kecil terpaksa dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Adji Kado secara resmi berkuasa di Kutai dengan gelar Sultan Adji Muhammad Aliyeddin.

Sultan Adji Muhammad Idris selama memerintah tergolong sebagai raja yang sangat adil, bijak dan ramah. Karena sifatnya ini sehingga rakyat sangat menyukai Sultan Adji Muhammad Idris. Tidak hanya itu, ketika rakyat ditimpa bencana maka ia tidak akan segan-segan untuk membantu.

Rynmanist

Referensi : Berbagai sumber

Join The Discussion