free page hit counter
Opini

Peran Jurnalisme dan Etika Bermedia Sosial

Akses media sosial kini menjadi salah satu kebutuhan primer dari setiap orang. Hal itu disebabkan oleh adanya kebutuhan untuk mendapatkan berita, informasi, hiburan, pendidikan, ataupun akses pengetahuan dari belahan bumi berbeda. Kemajuan teknologi serta canggihnya perangkat-perangkat yang diproduksi oleh industri seperti menghadirkan dunia dalam genggaman.

Istilah ini juga sejajar dengan apa yang diutarakan oleh Thomas L. Friedman sebagai the world is flat bahwa dunia semakin rata dan setiap orang bisa mengakses apapun dari sumber mana pun. Juga sebagaimana diulas Richard Hunter dengan world without secrets bahwa kehadiran media baru (new media/cybermedia) menjadikan informasi sebagai sesuatu yang mudah dicari dan terbuka. Pesatnya perkembangan media sosial saat ini karena semua orang seperti memiliki medianya sendiri. Definisi media sosial adalah medium di internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain, dan membentuk ikatan sosial secara virtual.

Saat ini, Media daring dan media sosial menjadi pilihan publik yang berpotensi besar menggeser posisi media konvensional sebagai sumber informasi. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu mengungkapkan, televisi dan media daring sama-sama yang paling dipilih oleh responden jika hendak memperoleh informasi paling aktual. Media sosial yang muncul belakangan ini memang mengubah panorama jurnalisme di Indonesia. Terutama yang berkaitan dengan proses pengumpulan berita, proses pembuatan berita, dan proses penyebaran berita.

Dalam proses pengumpulan berita misalnya, sudah menjadi umum saat ini jika status yang ditunjukkan oleh para orang terpandang-ataupun orang orang yang biasa jadi narasumber dalam aneka media sosial mereka bisa menjadi bahan yang kemudian ditulis di media massa mainstream. Sementara itu, aneka informasi yang tersebar dalam jejaring media sosial juga sering menjadi informasi yang kemudian disebarkan oleh media massa mainstream. Dalam hal ini, jurnalisme warga memiliki ruang untuk beritanya makin tersebar.

Proses pembuatan berita, kini sudah menjadi sesuatu yang umum ketika media online yang menampilkan jurnalisme memberikan ruang komentar dari para pembacanya atas item berita yang mereka hasilkan. Dalam proses penyebaran berita, aneka tampilan media sosial dipergunakan baik oleh media itu sendiri maupun para pembacanya untuk meneruskan berita yang telah diproduksi. Disini terlihat pembaca atau konsumen media yang memiliki perilaku senang berbagi dalam suasana media yang makin konvergensi.

Banyak pihak melihat jurnalisme dan media sosial sebagai sesuatu yang sedang popular dan perlu terus dipromosikan. Namun, tidak semua orang melihat kedua hal tersebut sebagai sesuatu yang saling menguntungkan. Robert G Pichard, misalnya dalam artikelnya di Nieman Reports, justru mempertanyakan manfaat dari media sosial terhadap perusahaan media secara umum. “Hanya karena teknologi itu popular untuk kalangan jurnalis dan penggunanya, itu bukan berarti penggunaan teknologi itu lalu menguntungkan perusahaan media secara keseluruhan”. Pertanyaan mendasar: apakah sikap masyarakat yang mudah berbagi informasi tidak sedang turut berpartisipasi dalam mengkreasi kecemasan missal ataupun kebohongan bersama?

Di sini, unsur dasar jurnalisme dibutuhkan yakni verifikasi. Di sini peran wartawan tetap diperlukan. Wartawan harus bisa memverifikasi informasi sebelum tersebar luas agar tidak terjadi kebingungan di kemudian hari. Menurut Kovach & Rosientiel, Jurnalisme, hadir untuk membangun masyarakat. Jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga negara. Jurnalisme ada untuk demokrasi. Jutaan orang, yang terberdayakan arus informasi bebas, menjadi terlibat langsung dalam menciptakan pemerintahan dan peraturan baru untuk kehidupan politik, sosial, dan ekonomi negara mereka. Apakah ini selalu menjadi tujuan jurnalisme? Ataukah hal ini hanya tepat di satu momen, di sebuah tempat tertentu? Namun, tujuan jurnalisme tidaklah ditentukan oleh teknologi atau wartawan maupun teknik yang dipakai. Prinsip dan tujuan jurnalisme ditentukan oleh sesuatu yang lebih mendasar, fungsi yang dimainkan berita dalam kehidupan masyarakat.

Belum banyak wajah jurnalisme yang berubah tetapi secara mengagumkan tujuannya tetap terjaga. yaitu, dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri. walaupun tak selalu tersaji dengan baik, mengingat pengertian pers pertama kali berkembang lebih dari 300 tahun yang lalu. Sekali pun semuanya telah berubah. kecepatan, teknik, karakter pengiriman berita sampai teori dan filosofi yang gamblang tentang jurnalisme tetap bertahan. Masih banyak persoalan lain yang ditemui dalam melihat persoalan antara jurnalisme dan media sosial. Namun, ini memang suatu pertanda munculnya era baru dalam dunia media komunikasi, menantang masyarakat untuk lebih mendalaminya, dan mencoba memahami serta kembali pada esensi utamanya: untuk apa komunikasi diciptakan? Untuk memudahkan manusia berhubungan dengan manusia lain, untuk lebih “memanusiakan manusia” atau malah menghasilkan dehumanisasi?

Sejarah media suatu bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana rezim sejarah menempatkan media untuk kekuasaan dan keberlangsungan kekuasaannya. Begitupun sejarah media di Indonesia. Orde Baru, melalui Undang-undang Ketentuan Pokok Pers, No. 11 Tahun 1966, mendefinisikan media massa, atau menggunakan istilah pers sebagai lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat miliki sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat tehnik lainnya.

Kita juga tahu bahwa dari perkembangan sejarahnya, masa emas kebebasan bermedia di Indonesia justru dialami rezim bernama reformasi. Nada dasar pembentuk keterbukaan informasi dalam rejim reformasi ini adalah demokratisasi. Rakyat diberi ruang untuk merasa memiliki hak memanfaatkan berbagai alat reformasi dalam rerangka menyuarakan, tidak saja keinginannya, tetapi juga berbagai kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Regulasi media pun ikut dirubah senapas dengan ide dasar reformasi politik, sosial, dan ideologi. Atas dasar argumentasi dan penjelasan demokratisasi itulah maka rejim reformasi menelurkan sebuah Undang-undang Pers yang baru, yaitu: Undang-undang No. 40 Tahun 1999, tentang Pers.Undang-undang ini memuat ketentuan umum sebagai berikut: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.Mengenai asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranan pers Undang-undang ini menegaskan antara lain: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum; Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,dan kontrol sosial.

Kelahiran Undang-undang No. 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dapat dilihat sebagai momentum pengaturan media sosial setara dengan media-media mainstream. Kenyataannya kebebasan tanpa batas media, tidak terjadi pada media mainstream, melainkan pada media-media sosial. Maka, pengaturan atasnya harus dilihat sebagai suatu kewajiban konstitusional Negara atas hak warga untuk mendapatkan informasi yang mendidik. Meskipun Undang-undang ini mengatur informasi elektronikdan transaksi elekronik, tulisan ini hanya berkepentingan membahas informasi elektronik saja karena berkaitan dengan segala bentuk berita, informasi, dan pengetahuan masyarakat yang diperoleh dengan memanfaatkan berbagai mekanisme elektronik sebagai media pengetahuannya.

Kita tahu bahwa Undang-undang ini mendefinisikan informasi elektronik sebagai satu atau sekumpulan dataelektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Kehadiran media sosial yang sulit dikendalikan mau tidak mau harus diperhadapkan dengan seluruh konteks sosial masyarakat kita. Kenyataan sosial sebagai konteks masyarakat kita tidak lain adalah pluralitas (suku, agama, ras, dan antargolongan/SARA). F. Budi Hardiman mensinyalir bahwa masyarakat informasi saat ini sedang menghadapi dua ekstrem sekaligus, ekstrem yang satu disebut sebagai radikalisme/fundamentalisme agama dengan munculnya kekuatan-kekuatan kontrasivilisasi dan ekstrem yang satu lagi adalah relativisme nilai dalam wujud post truth politics, narkoba, korupsi, dan human trafficking.

Menghadapi sinyalemen ini dibutuhkan sebuah proses resivilisasi (pemberadaban kembali), yaitu proses moralisasi dan juridifikasi dunia digital dan penguatan ruang publik politis, yaitu media. Resivilisasiharus pula menyangkut penataan komunikasi digital untuk mencegah pemakaian kekerasan verbal dan intimidasi kekerasan dalam demokrasi, seperti: adanya ujaran kebencian, sentimentalisasi agama, dan disinformasi.

Sederhananya,bahwa situasi masyarakat dengan kompleksitas keragaman, seperti Indonesia, pola pemberitaan media, apapun, entah itu media mainstreamatau media sosial, harus selalu berpegangpada prinsip etis ketika mengumpulkan, menentukan sumber berita, sampai kepada menyiarkan berita tersebut kepada masyarakat. Kita tahu bahwa perilaku komunikasi masyarakat maya sekarang ini menjadi model perilaku korporeal, Perilaku korporeal adalah perilaku dimana garis batas antara yang publik dan privat menjadi kabur, maka publik yang seharusnya rasional menjadi lebih sentimental. Publik menjadi begitu rentan terhadap kecemasan lingkungannya dan terus menerus mengalami information anxiety.

Dalam pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Jurnalisme di era media sosial adalah keniscayaan. Tanpa jurnalisme, informasi yang tersiar dalam ranah publik akan menjadi bias. Di era banjir informasi dan semua orang bisa mengklaim diri sebagai “jurnalis”, di sinilah jurnalisme verifikasi dibutuhkan. Seberat apapun tantangan yang dihadapi termasuk perubahan teknologi yang menuntut kecepatan menyebarkan informasi, jurnalisme harus tetap menjunjung tinggi dan mempraktikkan etika. Praktisi media mesti secara profesional juga memikirkan “bagaimana perubahan cara mengkonsumsi berita” bagi warga. Kini, mereka tak cukup hanya menyajikan berita tiap hari tentang subjek yang dianggap terpenting. Mereka mesti paham tujuan yang dimiliki masing-masing berita untuk audiens, pelayanan apa yang mesti disediakan atau pertanyaan apa yang mesti dijawab.

Dengan modal formal konstitusional pula, kita telah memiliki seperangkat aturan undang-undang untuk membatasi kerusakan akibat pemanfaatan media sosial yang tanpa batas. Penegakan aturan tetap menjadi penting, karena dia menjadi alat bagi negara untuk memastikan kenyamanan, keamanan, dan keutuhan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara harus mampu mengendalikan tendensi destruktif media sosial, tidak sebaliknya media sosial mengendalikan negara.

Alat yang dimiliki negara adalah aturan perundangan. Sekarang tegakan aturan perundangan yang ada secara konsisten. Selain modal konstitusional kita juga memiliki modal sejarah, yaitu nilai luhur bangsa yang dapat hidup rukun dalam berbagai perbedaan. Kerukunan hanya bisa dibangun dengan cara memahami dan menerima perbedaan sebagai keniscayaan sejarah. Pluralitas sejarah bangsa ini ada jauh sebelum perkembangan media sosial sosial sekarang ini. Pelaku media sosial seharusnya membekali diri dengan kesadaran etis bahwa penggunaan media sosial yang salah akan merusak keharmonisan dan keutuhan masyarakat. Prinsip-prinsip etis bermedia, seperti: Kepatuhan kepada norma hukum; Memastikan sebuah kebenaran pesan sebelum disiarkan kepada publik; Menjaga hak istimewa yang melekat pada setiap individu; Memisahkan dengan tegas ranah persoalan privat dari persoalan publik; Mengungkapkan pesan bermotif bohong fitnah, dan menyerang pribadi seseorang; dan kesadaran penuh bahwa keragaman budaya masyarakat adalah sensitif, harus dianggap sebagai pedoman etis hidup bersama sebagai bangsa. (AWS)

REFERENSI :
Dian Muhtadiah Hamna. 2017 “Eksistensi Jurnalisme di era Media Sosial” Jurnalisa Vol. 03 Nomor 1.
Fabianus Fensi. 2018 “Fenomena Hoax: Tantangan terhadap idealisme & Etika Bermedia” Jurnal Magister Komunikasi. Vol. 4 (No.2)
Haryanto, Ignatius. 2014. Jurnalisme Era Digital; Tantangan Industri Media Abad 21. Jakarta: Kompas
Hidayat Surya Abadi. 2019. “Media Sosial dan Antitesis Jurnalisme”. Jurnal Spektrum Komunikasi. Vol. 7 No. 1
Hardiman, F. Budi. 2017. “Keadilan dan Keadaban dalam Perspektif Filsafat dan Ajaran Sosial Gereja”. Materi Seminar. Jakarta
Hardiman, F. Budi. 2018. Homo Digitalis: Kondisi Manusia di Era Komunikasi Digital. Materi Seminar. Jakarta: STF Driyarkara.
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2006. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau Kementerian Komunikasi & Informatika. 2018. Laporan Tahunan Kementerian Komunikasi & Informatika Tahun 2017. Jakarta. Hal. 21
Nasrullah, Rulli. 2015. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Richard Hunter. 2002 “World Without Secrets: Business, Crime, and Privacy in the Age of Ubiquitous Computing” John Wiley & Sons. New Jersey
Robert G. Picard. 2009. “Blogs, Tweets, Social Media, and The News Bussiness” Nieman Reports. Nieman Foundation for Jurnalism at Harvard.
Thomas L. Friedman. 2007. “The World is Flat: Further Updated and Expanded”. Farrar, Straus and Giroux. New York
Dokumentasi Undang-undang Ketentuan Pokok Pers No. 11 Tahun 1966.
Dokumentasi Undang-undang Pers No. 40Tahun 1999.
Kompas edisi 24 September 2011
Kompas edisi 10 Februari 2020

Join The Discussion