Saat ini, media sosial telah menjadi hal yang sangat lumrah dalam keseharian kita.Perbedaan jarak, waktu, dan tempat tidak lagi membatasi kita untuk berkomunikasi. Tanpaharus menunggu lama dan mengeluarkan biaya yang besar, kita dapat saling bertukar kabardengan seorang kawan yang beratus-ratus kilometer jauhnya.Media sosial pun menjadi sumber informasi baru. Hanya dengan meng-scroll danmengetuk layar gawai, kita dapat mengetahui kafe yang baru dibuka seminggu yang lalu,buku atau musik yang akan segera dirilis, usaha-usaha yang sedang memberlakukan cashbackatau potongan harga, atau pun tempat-tempat estetik yang ramai karena baru sajadikunjungi — dijadikan konten — oleh seorang social media influencer.Media sosial merupakan bagian dari media baru, yakni media yang memanfaatkanjaringan internet sebagai nutrisi utama.
Menurut Dennis Mcquail (2011), interkonektivitas,interaktivitas, kegunaan yang beragam, dan ada di mana-mana merupakan ciri penting darimedia baru. Media sosial sendiri didefinisikan sebagai medium berbasis internet yangmenjadi saluran komunikasi masspersonal, di mana penggunanya bisa berinteraksi danmemilih untuk menghadirkan diri atau tidak, dengan konten yang bersumber daripenggunanya sendiri — user generated content (Carr et al., 2015). Media lama seperti radio,TV, dan koran yang pada masanya memiliki peran yang sangat kuat dalam membentuk opinimasyarakat, pelan-pelan tersubstitusi oleh media sosial meskipun tidak sepenuhnya.Dengan akses yang dipermudah oleh kemajuan kita sendiri dalam bidang teknologidan informasi, media sosial kini berada dalam genggaman. Di antara berbagai perangkatlainnya, masyarakat Indonesia paling sering mengakses internet dengan menggunakantelepon seluler. Dengan banyaknya penggunaan internet menggunakan gawai, tidakmengherankan apabila Indonesia menjadi negara dengan penggunaan media sosial terlamaketiga di dunia setiap harinya.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh AsosiasiPenyelenggaraan Jaringan Internet Indonesia (APJII), 89,4% masyarakat Indonesiamenggunakan internet untuk chatting dan 87% untuk menggunakan media sosial.Pada dasarnya, media sosial bukanlah hal baru. Media sosial pertama kali munculpada tahun 1997 dengan nama Six Degree, yang diikuti oleh Blogger pada tahun 1999. Padatahun 2000 awal, Friendster, LinkedIn, MySpace, Facebook, Youtube, Twitter, Instagram,dan Line pun bermunculan.Perhatian terhadap media sosial baru meningkat pada beberapa tahun terakhir. Aksesterhadap media sosial yang kian mudah dan murah telah menghadirkan perubahan strukturalpada berbagai aspek kehidupan kita.
Kemampuan perusahaan media sosial dalammengembangkan fitur yang saling timbal balik dengan kefasihan manusia dalammengoptimalkan berbagai perangkat pun berhasil menciptakan berbagai kultur baru.Di antara berbagai jenis media sosial yang ada, Indonesia memiliki jumlah penggunaInstagram tertinggi ketiga di dunia, yakni sebesar 140 juta, dan pengguna Facebook tertinggikeempat di dunia, yakni sebesar 56 juta pengguna. Sementara itu, dari penelitian setahunsebelumnya, Youtube, Facebook, Whatsapp, dan Instagram merupakan empat media sosialyang paling sering digunakan di Indonesia.
Dari seluruh media sosial yang disurvey, Instagram merupakan media sosial baruyang langsung menjadi kesenangan anak muda (termasuk remaja). Dalam sebuah penelitiandi Amerika Serikat, Instagram menjadi salah satu media sosial favorit bagi masyarakatberusia 18–34 tahun.Tidak mengherankan memang. Melalui Instagram, kita ditawarkan berbagai kontenmenarik yang memanjakan mata. Dengan algoritma yang sedemikian rupa, kita pun (hampir)selalu disambut dengan konten yang sesuai dengan diri kita.Salah satu ciri media sosial sebagai media baru adalah interkonektivitas. Setiapkonten yang telah kita unggah memiliki tempatnya sendiri pada jejaring maya yang begituluas. Masing-masingnya tertaut satu sama lain, di mana setiap konten yang kita lihatmembawa kita pada ribuan konten lainnya. Lucunya, kanal-kanal media massa pun seringkali mencatutkan konten dari media sosial. Hal ini dapat kita temukan pada program-programdi berbagai stasiun televisi yang memperbincangkan peristiwa-peristiwa yang bertempat dimedia sosial. Tidak hanya itu, media-media jurnalistik pun kerap kali melakukan hal serupa.Fenomena ini menjadi sebuah penanda bahwa media sosial mulai menjadi bagian darirealitas.Sebuah penelitian yang berjudul “Instagram-City: New Media, and the SocialPerception of Public Spaces”, menyatakan bahwa kebanyakan dari kita saat ini dipengaruhioleh tiga kondisi, yakni
- identitas ganda (identitas nyata dan virtual);
- interaksi sosialyang banyak dilakukan melalui perangkat elektronik; dan
- informasi yang banyakdiperoleh melalui internet (Toscano, 2017).
Sementara itu, komunikasi melalui media sosial berpengaruh terhadap enam aspekberikut, yakni
- kepercayaan, nilai, dan sikap;
- pandangan terhadap dunia;
- organisasisosial;
- tabiat manusia;
- orientasi kegiatan; dan
- persepsi terhadap diri dan orang lain(Darmastiti, 2011).
Meskipun begitu, hubungan yang tercipta antara media sosial dan manusia tidakmelulu bersifat satu arah. Sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan Naufal Rofi yangbertajuk “Mental Digital: Terlalu Kental dan Banal?”, kondisi masyarakat kita pada saat initidak serta-merta disebabkan oleh teknologi semata. Fenomena dunia maya dan dunia nyataini dapat ditelaah melalui Reinforcing Spirals Model (RSM). RSM adalah model yangbertujuan untuk mengonseptualisasi paparan media dan/atau konten komunikasi tertentu danefeknya dalam konteks sosial (Slater, 2007).
Penelitian Slater (2007) menggunakan model ini untuk menjelaskan bagaimanainteraksi antara media dan penggunanya saling mempengaruhi seiring berjalannya waktu.Interaksi antara media dan pengguna yang dimaksud dalam model ini bersifat kausal dandinamis, di mana sebuah kondisi akan terus berubah dan tidak akan kembali ke kondisisebelumnya (Slater, 2007).Berdasarkan penelitian tersebut, nilai, sikap, dan perilaku seseorang yang berinteraksidengan media akan selalu berubah dan vice versa. Sebagai contoh, pada sekitar sepuluh tahunyang lalu, telepon genggam hanya digunakan sebatas untuk menelepon dan berkirim pesansingkat. Namun, pada saat ini, banyak sekali yang dapat kita lakukan hanya denganmenggunakan telepon genggam yang hanya sebesar telapak tangan kita. Karenanya, perilakukita yang sebelumnya menggunakan gawai hanya ketika “butuh”, kini bergeser menjadi“ingin”, atau bahkan sekadar pengalih pikiran.Perubahan nilai, sikap, dan perilaku kita dipengaruhi oleh media yang kita gunakan.
Preferensi kita terhadap sebuah media selanjutnya dipengaruhi oleh konten-konten yangterdapat pada media tersebut dan kesesuaiannya dengan identitas personal kita pada saat itu.Dengan mengikuti sesuatu dan mengabaikan yang lain, secara tidak langsung, kitamempersilakan diri kita untuk dipengaruhi oleh sesuatu dan membatasi sisanya. Tentunya,kondisi tersebut dapat berubah pada kemudian hari.Selain nilai, sikap, dan perilaku, pemilihan media pun mempengaruhi polakomunikasi. Penyematan identitas yang dilakukan terhadap diri kita ketika menggunakanmedia sosial, secara tidak langsung, menentukan dengan siapa kita berinteraksi.
Jejaring yangterbentuk dari proses ini pun membentuk sebuah identitas bersama atau identitas sosial.Dengan pelekatan identitas kelompok, seorang individu memiliki preferensi tambahan ketikamemilih konten yang akan dikonsumsi ke depannya. Pelekatan yang berlebihan terhadapidentitas komunal tertentu dapat menyebabkan kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Karenaterisolasi secara sosial, seorang individu atau kelompok cenderung kesulitan untuk menerimahal-hal di luar diri dan kelompoknya, tertutup pada ide-ide baru, dan bersikap “memusuhi”.Sebagai sarana berinteraksi dan berkomunikasi pada masa ini, media sosial memilikikuasa untuk membentuk pemikiran yang berujung pada pembentukan perilaku (Castells,2009).
Interaksi antara warga kota pengguna dan media sosialnya dapat menjadi katalismaupun penghambat dalam proses pembangunan kota. Sebagai katalis, media sosial sudahbanyak digunakan oleh pemerintah dan berbagai organisasi nonprofit. Terlepas dari jenis dankualitas konten yang didistribusikan, penggunaan media sosial sebagai bentuk adaptasiteknologi merupakan langkah yang (semoga) baik. Selain itu, kehadiran media sosial jugaberperan dalam menggerakan ekonomi perkotaan dan aktivitas transfer pengetahuan.Tantangan dalam menggunakan media sosial, baik secara praktis maupun etis, punmasih cukup banyak. Berdasarkan frekuensi penggunaannya, interaksi yang berlebihanmelalui media sosial dapat mengurangi produktivitas. Proses interaksi sosial ini menciptakansebuah siklus yang disebut sebagai “effectual churn” (Fischer & Reuber, 2011).
Effectualchurn adalah siklus di mana aktivitas kognisi dan interaksi berlangsung berulang-ulang danjustru menihilkan perilaku produktif yang justru penting untuk mencapai tujuan. Sementaraitu, penggunaan yang tidak rasional dapat berdampak pada kekacauan yang nyata, sepertipeningkatan jumlah sampah karena konsumsi yang berlebihan dan kerusakan tempat-tempatwisata karena ketidakpedulian pada lingkungan sekitar.Dalam konteks kota, media sosial dapat mempengaruhi tatanan sebuah kota.Meskipun kota bertanggung jawab atas warganya, berharap akan terus diurus danmenyalahkan kondisi tidak akan menyelesaikan apapun. Pada akhirnya, penting untuk tidakmembiarkan diri kita dikendalikan oleh media sosial. Menyadari dan memahami bahwamedia sosial bukan sekadar medium hiburan, mungkin merupakan awalan yang tepat bagikita untuk mulai memikirkan bagaimana kita dapat berkontribusi bagi tempat di mana kitabernaung saat ini.Dalam pelbagai sumber bacaan terkait media sosial, pengguna media sosialdidominasi oleh masyarakat kelas menengah urban. Namun agaknya, pendidikan literasi kitadalam berkecimpung di media masih belum cukup mumpuni. Melalui Instagram, kita dapatmelihat bagaimana konten visual yang dipopulerkan oleh segelintir orang direplikasi begitusaja. Padahal di balik konten tersebut, tersimpan proses kreatif yang lebih kompleks.
Replikasi instan ini pun menunjukkan ketidakmampuan kita secara komunal untuk berpikirpanjang dan rasional. Padahal dengan sedikit bernalar, mungkin kita dapat menyadari bahwapengakuan tidak melulu soal jumlah like, metode iklan seperti endorsement melanggengkanbudaya konsumerisme, dan tempat-tempat instagramable yang seketika ramai menimbulkankemacetan yang tidak seharusnya. Dengan begitu, literasi media baru menjadi penting,terutama bagi remaja yang terbilang masih belum stabil rentan. Dalam sebuah penelitianterhadap remaja di Kota Surabaya, kemampuan responden dalam hal literasi media hanyasebatas pengguna. Mereka belum dapat menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi kontenyang tersebar di media sosial. Meskipun konsep literasi media sudah dikenal sejak era medialama, literasi media baru menekankan pada kemampuan untuk terlibat secara kritis dankreatif, meliputi partisipasi hingga produksi.Dengan mengupayakan literasi media, setidaknya kita berusaha untuk mencegahterciptanya tatanan masyarakat baru yang merasa selalu benar dan kehilangan kemampuanuntuk mengritisi dan mengevaluasi diri sendiri.
Referensi:
Slater, M. D. (2007). Reinforcing Spirals: The Mutual Influence of Media Selectivity andMedia Effects and Their Impact on Individual Behavior and Social Identity. CommunicationTheory, 17(3), 281–303.
Slater, M. D. (2017). Reinforcing Spirals Model. The International Encyclopedia of MediaEffects, 1–13.
Carr, C. T., & Hayes, R. A. (2015). Social Media: Defining, Developing, and Divining.Atlantic Journal of Communication, 23(1), 46–65.
Watie, E. D. S. (2016). Komunikasi dan Media Sosial (Communications and Social Media).Jurnal The Messenger, 3(2), 69–74.
Toscano, P. (2017). Instagram-City: New Media, and the Social Perception of Public Spaces.Visual Anthropology, 30(3), 275–286.
Hariyanto, Y. P. (2017). Literasi Media di Kalangan Remaja Kota dalam Penggunaan MediaSosial (Studi Deskriptif tentang Literasi Media di Kalangan Remaja Kota dalam PenggunaanMedia Sosial di Surabaya) (Doctoral Dissertation, Universitas Airlangga).