Pemuda tidak henti-hentinya digaungkan sebagai roda peradaban, perannya ditunggu-tunggu disepanjang zaman, bak sang raja; pengaruhnya begitu besar dalam menentukan apakah suatu bangsa bisa menjadi lebih maju tercerahkan atau justru terpinggirkan.Digitalisasi informasi yang semakin melebar dan jauh lebih massif membuat pemuda jadi tulang punggung bagi kita semua untuk mengambil peran dalam membingkai kesadaran, memanfaatkan informasi juga memelihara persatuan dan perdamaian antar manusia lainnya. Pemuda mengambil banyak porsi terhadap penggunaan media sosial.
Dalam sebuah Survey yang dilaporkan APJII pada tahun 2019-2020 saja telah menyebutkan penetrasi pengguna internet di indonesia telah didominasi Oleh kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 91 persen, lalu kemudian disusul kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 88,5 persen, oleh sebab itu kaum muda patut disebut Si Paling Digital abad ini karena mendominasi penggunaan internet di Indonesia, atau bahkan mungkin dunia.
Digitalisasi memberikan banyak kemudahan. orang-orang dengan mudah terlibat satu sama lain tanpa perlu mengkhawatirkan jarak. semua pesan dalam bentuk teks, gambar bahkan video dapat dibagi bersama, memungkinkan semua hambatan dialami manusia dalam berkomunikasi dapat diatasi. Namun tentu bukan tanpa konsekuensi akan lahirnya media sosial sekarang ini.
Masalahnya adalah semua orang bisa mengirim dan membagikan informasi apa saja tanpa ‘editorial’, sehingga kerapkali informasi yang dibagikan di media sosial tidak dapat dijamin kebenarannya. kita sering menyaksikan belakangan ini terjadi banyak keributan di media sosial, perdebatan-perdebatan yang tidak produktif, komentar-komentar yang kurang pantas, umpatan, makian, dan hina-menghina. bahkan tidak heran jika kita sering menjumpai daftar binatang dikolom komentar sekalipun tak ada yang membahasa tentang kebun binatang. Semua orang bisa mengirim apapun yang mereka pikirkan tanpa filterisasi.
Yang sering luput dari perhatian kita, terutama peran pemuda di era digital adalah bagaimana menjadi cerdas secara emosional, bagaimana pemuda membangun koneksi atau berjejaring di internet, bagaimana mengemukakan gagasan ataupun pendapat tanpa menyakiti orang lain. Tidak hanya sibuk mewarnai timeline media sosial dengan adu keren-kerenan pencapaian ABCD, bukan cuma menjejali bumbu resep jiwa enterprneurship.
Tetapi pemuda seharusnya sudah bisa berbenah, mulai bersih-bersih timeline dengan hal-hal yang baik dan tidak menjadi toxic buat orang lain. Mulai jadi orang yang sadar kalau punya pandangan yang berbeda dengan orang lain harusnya tidak menjadi masalah atau memunculkan ketegangan, tapi justru disambut dengan anggapan kalau berbeda bisa melahirkan insight baru.
Seharusnya pemuda bisa membangun komunikasi yang positif, bisa memandang suatu hal sebagai peragaan sains dan tidak tersulut emosi jika mendapatkan resistensi dari orang lain. Ide boleh aja liar, tapi perkataan serta hati kita harus tetap tenang dalam menyampaikan pesan, bisa ngirim vibes yang damai di timeline, tetap bisa ngejokes tanpa niat untuk menyinggung agar yang lain tersinggung.
Dan yang paling penting juga bukan hanya masalah cara berkomunikasi, tapi juga konten yang disampaikan, apakah hoax, berita palsu, informasi sesat dan teman-temannya, kalau ada yang tanpa sengaja ngirim hoax atau berita bohong, yang lain bisa ngingetin tanpa mencibir. Karena kualitas seseorang juga bisa dilihat dari timeline medsosnya, apalagi dengan medsos yang sudah mengokupasi sebagian besar waktu kita sehari-hari.
Sudahlah, tak ada gunanya buang-buang waktu di timeline yang tidak ada manfaatnya, mendingan cari cara biar bisa kolaborasi dengan orang lain, cari cuan dengan benar, damai sejahtera, full senyum tanpa bayang-bayang pinjol. (AWS)