Sejak kemarin aku memutar mata mendengar ucapan Ranu. Kekesalannya terhadap pemerintah terkait kenaikan harga bahan bakar membuatnya berceloteh panjang lebar tanpa perlu mempertimbangkan pendapatnya terlebih dahulu.
“Katanya ingin masyarakat kita maju, makmur, dan mandiri. Gila! Sejak kapan mereka berpikir kalau kita bisa berlari secepat pesawat? padahal pesawat juga butuh bahan bakar”
Ranu adalah siswa yang kritis. Aku mengenalnya sejak awal masuk dibangku SMA. Hanya saja, beberapa orang yang kritis terkadang buntu untuk menyikapi suatu situasi. Aku tidak berbicara mengenai orang lain, cukup Ranu yang ada disampingku
“Mungkin pemerintah sedang berpikir untuk menciptakan bahan bakar yang harganya jauh lebih murah untuk sepeda kamu, Ranu!
Suasana mendadak sepi. Semua tatapan tertuju padaku. Terutama Ranu yang sejak awal memang duduk disampingku.
” Sepeda emang butuh bahan bakar Ru? ” tanya Ranu dengan tampang kesalnya.
Aku tertawa dan menepuk bahunya. Terlihat random adalah caraku mencairkan suasana. Mungkin sekedar menghargai kritis pendapat Ranu yang mewakili perasaan masyarakat diluar sana.
Namaku Aru. Aku tidak mengatakan bahwa apa yang dirasakan Ranu dan apa yang dipikirkannya salah. Aku tidak semunafik itu untuk mengatakan bahwa aku tidak merasakan hal yang sama. Tapi kendala dan momok mengerikan yang biasanya terjadi adalah aksi-aksi Ranu yang terkadang menjadi sorotan dan menimbulkan protes bagi orang-orang yang pro dan kontra mengenai hasil pemikirannya.
Itu wajar. Hanya saja orang-orang tidak serta merta menelan informasi yang keluar dari seseorang tanpa memilahnya terlebih dahulu. Namun, cara berpikir seseorang tidak mesti dan selalu sama. Tindakan mengerikan adalah ketika seseorang menarik kesimpulan dari satu protes masyarakat tanpa memilahnya terlebih dahulu.
Aku pernah menanyakan perihal ini pada Ranu. Bagaimana pendapatnya mengenai pertimbangan pemerintah terkait kasus inflasi yang terjadi dikalangan masyarakat.
“Aku nggak perduli! Selama itu merugikan masyarakat, pemerintah harus bertindak keras untuk menekan inflasi itu”
Protesnya wajar dan mendasar. Namun dalam sebuah informasi, menurutku itu tidak cukup.
Pernah sekali Ranu mengutarakan kekesalannya lewat media sosial. Tujuannya tidak berbeda, hanya untuk mendapatkan kepuasan atas terwujudnya aspirasi masyarakat yang dikatanya diwakili oleh dirinya.
Beberapa orang menyikapi dengan bersemangat. Namun kembali lagi. Dalam dunia informasi, terdapat istilah pro dan kontra. Dan Ranu tidak menduga bahwa cara yang ditempuhnya tidak benar-benar menjadi baik di mata masyarakat.
Saat itu aku merangkulnya sebagai seorang sahabat.
” Pendapatmu tidak salah, Ranu. Hanya saja, tindakan yang kamu lakukan bisa saja menjadi kategori Radikalisme. Masalah yang kita hadapi saat ini bukan ajang untuk menekan pemikiran dewasa kita, tapi sebaliknya”
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Ranu kala itu. Namun setelah beberapa saat, Ranu mengucapkan permintaan maaf dan menghapus postingan sebelumnya.
Yang dilakukannya bukan tentang harga diri. Namun tentang cara untuk bersikap dewasa, kritis dan bermanfaat.
Sampai saat ini Ranu masih aktif dalam mengkritisi suatu informasi, baik dalam dunia digital maupun dalam lingkungan sekitarnya, namun tentunya dengan cara yang berbeda dan lebih baik dari sebelumnya.
By: Iyan Fryan