Radikalisasi adalah ancaman serius yang memerlukan respons cepat, khususnya untuk melindungi perempuan dan anak-anak. Pengalaman Listyowati, mantan narapidana teroris, menunjukkan betapa rentannya perempuan terhadap propaganda ekstremis, terutama ketika mereka menghadapi situasi emosional atau sosial yang tidak stabil. Untuk menghadapi ancaman ini, kita perlu fokus pada edukasi dan kesiapsiagaan.
Anak perempuan sering kali lebih rentan terhadap radikalisasi karena beberapa alasan. Pertama, mereka bisa menghadapi tekanan sosial dan emosional yang lebih berat, terutama dalam konteks keluarga atau komunitas yang kurang mendukung. Ketidakstabilan keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, dan kurangnya dukungan emosional dapat membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh ideologi ekstremis yang menawarkan solusi cepat atau rasa belonging.
Kedua, anak perempuan sering kali memiliki akses terbatas ke informasi dan pendidikan yang memadai, sehingga mereka mungkin kurang siap menghadapi propaganda ekstremis yang canggih dan manipulatif. Kelompok radikal sering memanfaatkan ketidaktahuan ini untuk menarik mereka ke dalam jaringan mereka. Melalui media sosial, kelompok ekstremis dengan mudah menyebarkan pesan-pesan yang menarik bagi anak-anak perempuan yang merasa kesepian atau terasing.
Ketiga, faktor psikososial seperti pencarian identitas dan kebutuhan akan pengakuan juga berperan. Masa remaja adalah periode penting dalam pencarian jati diri, dan anak perempuan yang merasa terabaikan atau kurang mendapatkan pengakuan di lingkungan sosialnya bisa menjadi target yang mudah. Kelompok ekstremis sering menawarkan rasa tujuan dan identitas yang menggoda bagi mereka yang sedang mencari tempat di dunia.
Pendidikan tentang bahaya radikalisasi harus dimulai sejak usia dini. Program edukasi di sekolah, komunitas, dan keluarga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran. Keluarga memainkan peran besar dalam menjaga komunikasi terbuka dan memberikan dukungan emosional yang kuat, sehingga anak-anak dan anggota keluarga tidak mudah terpengaruh oleh ideologi ekstremis. Mengetahui cara kelompok radikal menyebarkan propaganda dan memanipulasi emosi dapat membantu individu menjadi lebih waspada dan kritis.
Media sosial merupakan saluran utama penyebaran ideologi ekstremis, sehingga literasi digital menjadi sangat penting. Dengan memahami teori komunikasi, kita bisa melihat bagaimana kelompok radikal menggunakan teknik manipulasi dan informasi yang menyesatkan untuk menarik perhatian dan mempengaruhi audiens. Melalui pelatihan literasi digital, masyarakat dapat belajar cara memverifikasi informasi dan mengenali tanda-tanda propaganda yang mencurigakan.
Dukungan bagi individu yang mengalami kekerasan atau masalah emosional juga merupakan langkah krusial. Lembaga-lembaga sosial dan pemerintah harus berkolaborasi untuk menyediakan bantuan yang efektif, termasuk konseling dan dukungan psikososial. Ini membantu individu yang rentan mendapatkan perlindungan dan dukungan yang mereka butuhkan, mencegah mereka terjerat dalam ideologi ekstremis.
Selain itu, sistem pemantauan yang proaktif diperlukan untuk mendeteksi dan menangani aktivitas radikal lebih awal. Baik di tingkat komunitas maupun online, pemantauan yang efektif dapat membantu mencegah penyebaran ideologi ekstremis sebelum mencapai target yang lebih luas. Melibatkan berbagai pihak dalam upaya pencegahan, dari pemerintah hingga masyarakat sipil, dapat meningkatkan efektivitas perlindungan. Dengan pendekatan yang terkoordinasi dan komprehensif, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan dan anak-anak, serta menjaga mereka dari ancaman radikalisasi.
Penulis: Nur Azizah Samad