Sahabat damai, beberapa pekan lalu kita membahas tentang Khulafaur rasyidin, saatnya hari ini kita membahas penerus kepemimpinan kedua yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib. Ia adalah keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW yang termuda dengan sebutan Bani Abbasiyah.
Bani Abbasiyah tinggal di tanah sebelah timur sungai Yordan setelah penaklukan Suriah dan secara umum menjauhkan diri dari politik saat perang saudara berkecamuk pada 600-an Masehi. Namun pada masa 700an informasi beredar keturuan Ali memindahkan hak kekuasaan kepada Bani Abbasiyah.
Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak) dan kemudian berpindah ke Kairo sejak tahun 1261. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dunia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Sepanjang 730 an hingga 740 an, terjadilah kesepakatan dengan diucapkannya sumpah setia jaringan sekutu yang jauh dari basis Bani Umayyah di Damaskus. Bani umayyah adalah kekhalifahan pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 hingga 750 di jazirah Arab dan sekitarnya (beribu kota di Damaskus) hingga Cordoba, spanyol 1031 Masehi.
Sepanjang sejarah kepemimpinannya, Bani Abbasiyah memberikan janji masyarakat yang setara di bawah kekhalifahannya dan secara samar menjamin keturunan Ali akan memainkan peranan lebih besar dalam pemerintahan Islam, sesuai keinginan banyak muslim dibagian timur Kekhalifahan.
Hal tersebut menjadikan Bani Abbasiyah mampu mengamankan dukungan berbagai kalangan masyarakat baik dari ahli ibadah yang ingin menyaksikan pemerintahan yang mengikuti teladan Rasululah SAW. Ada pula kelompok non-Arab Muslim yang marah akan status kelas dua mereka dan pengikut Ahlubait yang menyakini seharusnya kekuasaan menjadi milik keluarga Nabi SAW.
Adanya penolakan tersebut menyebabkan Bani Abbasiyah menyatakan akan adanya pemberontakan terbuka secara resmi pada 747 Masehi dengan mengibarkan bendera hitam khusus di langit Kota Merv, jauh ketimur dunia islam yaitu Turkimenistan. Revolusi tersebut dipimpin oleh Abu Muslim seorang tokoh misterius dari Persia yang diyakini akan kecerdasan dalam bidang politik dan militer.
Pada awal 750 Masehi dalam perang Zab di Mesopotamia tengah, kekuatan Abbasiyah berhasil mengalahkan pasakun Umayyah, sehingga tidak ada lagi penghalang antara Abbasiyah dan ibu kota Umayyah, Damaskus. Revolusi tersebut menobatkan dinasti kedua untuk mengendalikan kekhalifahan.
Pemberontakan yang dilakukan Bani abbasiyah tidak lain untuk membangun kembali pemerintahan yang sejalan dengan teladan nabi, menyediakan tempat yang pantas bagi masyarakat non-arab dan memberikan peran kepemimpinan pada keturunan Ali. Harapan tersebut ternyata tidak terwujud, tidak membuat dunia Islam kembali ke era Khulafaur Rasyidin dimana keshalehan yang menjadi pusat keputusan khalifah.
Khalifah Abbasiyah meneruskan otoritas yang sama dengan Umayyah dengan tetap menjadikan gelar khalifah adalah keturunan keluarga Quraisy, dan bagi yang mendukung keluarga Ali sebagai Khalifah maka akan ditinggalkan tanpa dipenuhi janjinya.
Bani Abbasiyah memajukan masyarakat non-arab yang tidak mengalami diskriminasi meskipun jabatan khalifah tetap dipegang oleh orang arab namun administrasi di isi oleh masyarakat Persia. Selama ratusan tahun sebelum Islam hadir, orang Persia terkenal ahli dalam mengembangkan sistem birokrasi yang kompleks, dan efisien.
Sahabat damai, bani abbasiyah menyadari kepiawaian orang Persia, sehingga memindahkan ibu kota lebih dekat ke pusat Persia. Tahun 765 Masehi, dibangun ibu kota bari di tanah subur antara sungai Tigris dan Eufrat dekat dengan ibu Kota Persia lama (Ctesiphon), sehingga kurang lebih 20 tahun Baghdad menjadi kota terbesar di dunia dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa dan merupakan pusat kerajaan Islam yang metropolitan, majunya pemerintahan, pengetahuan dan seni.
Sahabat damai, satu pesan damai yang disampaikan dalam pemerintahan Bani abbasiyah adalah “semua masyarakat harus mendapatkan haknya dan tidak ada diskriminatif meskipun bukan bagian darinya.” Kepemimpinan khalifah bani Abbasiyah melumpuhkan kekuatan umayyah untuk selalu berperang dengan penaklukan militer Muslim telah berhenti dan menjadi era penaklukan Intelektual Muslim.
Kisah sejarah ini menyadarkan kita, bahwa perjuangan menjayakan Islam tidak serta merta harus melalui perang yang menumpahkan darah dan nyawa melainkan perlunya kecerdasan dalam berpikir yang dapat menemukan ide brilliant mengalahkan musuh tanpa menciptakan musuh.
Ryn Manist
Referensi : Berbagai Sumber