Hidup dalam lingkungan yang memiliki ragam suku, agama, ras dan golongan, memerlukan kesadaran diri untuk dapat saling menghargai serta hidup berdampingan. Dengan memahami kebaragaman yang ada, maka tak akan ada yang merasa paling benar ataupun menganggap kelompok lain yang salah. Sebab, sikap intoleran lah yang memicu munculnya paham radikalisme.
Pada tulisan ini, penulis akan membahas faktor pemicu radikalisme dalam agama, apalagi Indonesia merupakan salah satu negara dengan umat beragama terbesar.
Paham radikalisme merupakan faktor utama yang dapat menggeser ideologi-ideologi yang ada dalam keagamaan itu sendiri. Ideologi seperti itulah yang membuat beberapa orang menjadi tidak dapat menerima keberagaman agama.
Diketahui pula, terdapat tiga penyebab dasar yang memunculkan pemikiran radikalisme. Pertama, adanya tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya yang memunculkan otoritarianisme sehingga membuat beberapa faksi – faksi pemahanan radikalisme tidak toleran terhadap keberagaman di Indonesia.
Kedua, faktor emosional dalam kegiatan keagamaan. Dalam hal ini, sentimen keagamaan menjadi sangat sensitif, dimana setiap penganut beragama menganggap bahwa ajaran mereka lah yang paling benar. Beberapa oknum radikal juga selalu berusaha mengibarkan bendera serta simbil-simbol tertentu yang mereka anggap sebagai suatu usaha dalam membela agama dan mengajarkan ajaran baik.
Dalam konteks tersebut, sikap emosional atau fanatis dalam beragama perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Artinya dibutuhkannya suatu bentuk kebijakan yang mendukung serta membatasi agar tak ada pergesekan yang terjadi antar umat beragama, seperti halnya menghindari apa yang pernah terjadi di awal reformasi yang menyebabkan beberapa agama terkena imbasnya.
Apakah ini adalah bentuk dari Kegiatan Keagamaan? tentu saja tidak, seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap agama mengajarkan kedamaian bagi penganutnya, setiap agama memiliki cinta terhadap sesama dan menjunjung tinggi atas keberagaman dan toleransi dalam bersosial.
Ketiga, berasal dari faktor doktrinisasi. Seperti yang telah kita ketahui, masyarakat modern memiliki akses luas dalam memeroleh informasi dan imbasnya jadi sulit untuk menyaring informasi yang masuk. Tanpa disaring, informasi yang belum jelas kebenarannya sudah dicerna mentah-mentah oleh masyarakat. Belum lagi masalah radikalisme yang mulai memasuki ranah daring dan menebarkan ideologinya melalui jejaring sosial.
Bagi beberapa oknum, khususnya yang telah terpapar radikalisme, ini merupakan kesempatan yang bagus bagi mereka untuk menyebarluaskan doktrin-doktrin radikal, menghasut masyarakat atau kelompok tertentu dengan informasi dan berita bohong. Parahnya, terkini masyarakat hanya memercayai sebelah sisi saja, karena sudah terlanjur menelan berita yang diberedar di internet. Selanjutnya, masyarakat pun menjadi terbiasa akan informasi yang mendoktrin ke arah perpecahan.
Sebagai manusia yang memeluk agama dan memiliki kepercayaan masing-masing, setidaknya kita mampu untuk bersikap serta berlaku dengan baik sesuai dengan ajaran yang ada dalam agama. Jangan melihat suatu penganut agama dari sisi keras serta intoleransinya saja, karena itu akan mencerminkan ajaran yang kita miliki juga, artinya ajaran kita juga salah.
Kita harus dapat mengubah persepektif atas ajaran agama yang bertujuan untuk saling mengayomi dan menghargai satu sama lain antar umat beragama.
Saya yakin sebagai manusia yang memeluk agama kita terlalu hanyut atas kisah kisah lampau yang dimana kita harus memakai jalan kekerasan. Berhentilah untuk selalu memakai jalan keras untuk menyebarkan agama yang kita peluk, dengan begitu semoga kita semua tetap berbuat baik dalam segala perilaku kita di kemudian hari.
Glob
Referensi : Berbagai Sumber