Persoalan intoleransi masih menjadi problem serius yang dihadapi bangsa ini. Potensi benturan, konflik dan kekerasan yang bernuansakan perbedaan primordial masih cukup tinggi baik secara online maupun offline. Salah satu bibit radikalisme dan terorisme juga berasal dari sikap intoleran. Karena itulah, menyongsong tahun 2022 butuh Gerakan Bersama yang massif pada level struktural dan kultural untuk mengkampanyekan toleransi.
Toleransi bukan bahasa asing, tetapi telah menjadi gaya hidup, watak, dan karakter luhur bangsa indonesia. Bagaimana strategi yang komprehensif di berbagai sektor kehidupan berbangsa untuk kembali menjadikan toleransi sebagai pandangan hidup bangsa?
Indonesia merupakan negara yang memiliki sifat pluralisme yang artinya negara Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, suku, bahasa, adat istiadat hingga agama. Keanekaragaman ini menjadi anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Keanekaragaman ini menjadi pondasi bagi masyarakat untuk maju dan berkembang dengan berbagai potensi yang dimiliki bangsa Indonesia. Dengan beranekaragam yang dimiliki, membuat masyarakat dituntut untuk hidup dalam kerukunan.
Istilah kerukunan beragama kadang berorientasi pada hal-hal baik, namun dapat pula menjadikan konteks tersebut sebagai ajang konflik. Artinya, pada satu sisi adanya setiap nilai-nilai agama yang mengajarkan kebaikan, keadilan dan perdamaina yang universal.
Tetapi pada sisi lain, mereka masing-masing mengklaim sebagai individu yang lebih baik daripada orang lain. Maka dalam konteks tersebut, masyarakat yang minoritas menjadi pihak yang rentan untuk mendapatkan sikap “intoleran”.
Harus diakui bahwa memposisikan kelompok mayoritas dan minoritas, sebagai sebuah kekayaan budaya guna mempersatukan bangsa, akan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai toleransi yang berkembang di tempat kelompok tersebut berada.
Soekarno (1945) pernah menyatakan sebuah gagasan yang dikutip oleh setara institute sebagai berikut: “Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsawanan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan”
“Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan kebangsawanan, maupun golongan yang kaya, tapi semua buat semua”.
Pernyataan Soekarno yang menegaskan tentang ‘semua buat semua’ cukup jelas mengartikan negara sebagai kerangka universal yang mengatasi berbagai sistem nilai yang partikular termasuk agama, kelas sosial, etnis dan golongan.
Dengan mendefinisikan negara sebagai ‘pemersatu’ maka Soekarno memandang kondisi pluralitas sebagai semacam ‘kondisi alamiah’ yang secara generik mendasari semua masyarakat sebelum sebuah negara dan bangsa dibangun.
Intoleransi yang Kerap terjadi di Indonesia
Intoleransi terjadi pada kondisi sebuah kelompok masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama yang spesifik menolak untuk menoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandasakan agama.
Cukup sering terdengar tentang gerakan-gerakan yang menunjukkan sikap intoleran, istilah “intoleransi” menjadi kata yang kerap digunakan untuk menggeneralisasikan masyarakat dengan pandangan berbeda pada isu tertentu.
Salah satu contoh kasus yang biasa terjadi ketik adanya praktik-praktik intoleransi dengan merenggut hak untuk beribadah bahkan hingga kadang terjadi perselisihan-perselisihan akibat adanya sikap intoleransi tersebut.
Bahkan baru-baru ini ada video yang beredar di sosial media, seorang pemuda yang merusak sesajen di kawasan erupsi Gunung Semeru, aksi tersebut merupakan perilaku intoleransi karena tidak sesuai dengan ajaran pemuda tersebut namun melakukan sikap merusak.
Sikap-sikap tersebut yang terjadi di Indonesia pastinya tidak terjadi begitu saja. Tentu ada dorongan internal maupun eksternal, pembentukan sikap pada individu karena beberapa faktor diantaranya adalah kebudayaan, pembentukan pribadi, dan yang paling sering ditemukan pada media informasi.
Beberapa individu seringkali telah berinterakasi dengan individu lain ataupun mengikuti kelompok-kelompok tertentu sehingga terjadi komunikasi yang menghasilkan pemikiran-pemikirn yang tidak kritis sehingga muncul berbagai masalah atau konflik yang melunturkan nilai toleransi.
Akibatnya, banyak yang kehilangan kebebasan beragama karena pihak-pihak yang terpengaruh oleh faktor sosial, ekonomi, politik hingga meningkatknya ujaran kebencian yang terjadi di kalangan masyarakat, kelompok ataupun ras.
Ada beberapa pemicu yang membuat seseorang melakukan aksi intoleransi. Pertama, perbedaan dalam memahami ajaran agama secara tekstual. Pemahaman ini menjadi pengalaman yang berbeda bagi sesama penganut agama.
Yang kedua, aksi pemaksaan hak asasi yang dilakukan oleh kaum mayoritas kepada pihak minoritas. Aksi lainnya adalah perbedaan adat istiadat juga dapat menjadi pemicu terjadinya kasus intoleransi.
Yang terakhir yaitu ketidakadilan dari pihak aparatur negara dalam menangani konflik yang terjadi. Mereka cenderung memihak kepada satu kubu dengan berbagai alasan seperti agama, golongan bahkan kasta.
Toleransi Sebagai Jembatan Pemersatu Bangsa
Dari banyaknya fenomena yang terjadi, harus diakui bahwa sikap toleransi menjadi pondasi agar dapat terciptanya kerukunan dan ketenagan di Indonesia. Banyak alasan mengapa sikap toleransi penting salah satunya adalah karena di Indonesia terdapat banyak suku, ras maupun budaya.
Ketika seorang individu maupun kelompok tidak dapat menerima pendapat atau kepercayaan lain, maka pada saat itulah sering terjadi sikap-sikap tidak terima hingga melakukan sebuah aksi yang merugikan orang lain.
Harapannya di tahun 2022 ini toleransi menjadi hal yang dapat mengubah pola pikir, cara bertindak dan bernalar masyarakatnya sehingga tidak ada lagi perbedaan sehingga semua orang memiliki hak untuk menjalankan agamanya masing-masing.
Kesediaan menerima perbedaan pemahaman, menghargai dan menghormati merupakan salah satu wujud dari sikap toleransi. Menumbuhkan kesadaran pada masyarakat bahwa realitas kehidupan adalah heterogen dan multikultural. Dengan sikap tersebut menimbulkan kerukunan dan tidak saling membenci.
Salah satu upaya pencegahan yang bisa dilakukan adalah bijak dalam bersosial media. Mengingat saat ini banyak hoax yang beredar di sosial media, penting bagi kita untuk memilah dan mengakses informasi yang beredar agar tidak mudah terprovokasi.
Selain itu, upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme juga dapat dilakukan melalui peningkatan wawasan keagamaan, kebangsaan dan sosial politik. Pada akhirnya, persoalan penyebab intoleran dan radikalisme menjadi perhatian kita semua.
Kerjasama antar masyarakat, pemerintah, agamawan menjadi kunci yang dapat mewujudkan Indonesia lebih rukun dan harmonis antar sesama.
Referensi : Berbagai Sumber
Arista, E. A. Intoleransi Agama yang Terjadi di Indonesia. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.