Selain kaya akan budaya, Sulawesi Selatan juga memiliki tokoh wanita yang berperan penting dalam sejarah bahkan nama dan karyanya telah mendunia. Ia adalah Colliq Pujié, tokoh perempuan yang berperan penting dalam penyuntingan naskah sastra I Lagaligo.
Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé atau dikenali sebagai Colliq Pujié merupakan bangsawan Bugis-Melayu yang lahir pada tahun 1812. Ia adalah putri dari Raja Tanété, La Rumpang Mégga, Datu Mario Ri Wawo, Matinroé ri Mutiara.
Colliq Pujié dan Gelar Kebangsawanannya
Nama Colliq Pujié sendiri berarti pucuk yang terpuji, sedangkan Arung Pancana Toa yang artinya ‘Raja Pancana Tua’ merupakan sebuah gelar dan Matinroé ri Tucaé (yang tidur di Tucae) adalah nama anumerta yang disematkan oleh orang-orang setelah ia meninggal.
Dulu ketika banyak orang tidak mendapatkan akses pendidikan, Colliq Pujié tumbuh menjadi cendekiawati yang cerdas dan diberi banyak keahlian. Bahasa dan sastra Bugis menjadi salah satu keahlian yang paling ia sukai.
Saat itu, ia diberikan amanat dalam menulis surat resmi untuk ayahnya, La Rumpang yang seorang Raja di Tanété. Karena pada saat itu ayahnya hampir tidak pernah tinggal di istana karena diintimidasi oleh Belanda hingga Colliq Pujié pun diberi gelar Datu Tanete karena ia lebih banyak mengontrol kegiatan di kerajaan.
Colliq Pujié kemudian menikah dengan La Tanampareq (To Apatorang Arung Ujung) dan dianugerahi tiga anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Anaknya yang laki-laki bernama La Makkawaru, dan yang perempuan bernama We Tenriolle dan I Gading.
Namun, pada tahun 1852 suaminya meninggal dunia sehingga Colliq Pujié dan anak-anaknya tinggal di Tanete bersama Ayahnya. Tidak lama setelah suaminya meninggal, pada tahun 1855 ayahnya yaitu La Rumpang juga meninggal dunia.
Pewaris tahta harusnya menurun pada anak lelaki Colliq Pujié, La Makkawaru. Namun, ia memiliki perilaku buruk yang tidak disukai kakeknya yaitu penjudi. Maka ditetapkanlah We Tenriolle anak perempuannya sebagai Datu Tanété.
Dua tahun setelah pelantikan We Tenriolle sebagai pewaris tahta, terjadi pertengkaran antara Datu Tanete dan anggota keluarganya (termasuk ibunya). Penyebabnya diketahui karena ternyata We Tenriolle bekerja sama dengan Belanda.
Colliq Pujié yang pada saat itu menentang Belanda menjadi marah dan melakukan perlawanan. Karena itu pada Maret 1857, Colliq Pujié diasingkan di Kota Makassar. Di Makassar, ia hidup dengan tunjangan pemerintah daerah yang terdiri dari 20 gulden dan 2 pikul beras setiap bulan.
Namun, ia tidak bisa hidup dengan hanya menggunakan tunjangan tersebut. Colliq Pujié menjual harta benda dan perhiasan yang ia miliki dan juga meminta kepada pemerintah Belanda untuk dapat tinggal di sebelah Utara kota Makassar yang ditolak oleh pemerintah Belanda.
Sebenarnya, Colliq Pujié dapat kembali ke Tanété pada taun 1867. Namun karena pertengkaran dengan keluarganya belum selesai, ia harus meninggalkan Tanété lagi.
Penyuntingan Naskah Sastra I Lagaligo
Pertemuannya dengan Matthes diawali dengan keinginan Matthes untuk belajar bahasa Bugis dan menurutnya lebih susah dari bahasa Makassar. Pada tahun 1852, Matthes yang tinggal di Makassar kemudian mengunjungi daerah-daerah Bugis. Saat itulah ia bertemu dengan Colliq Pujié.
Pada saat pengasingan Colliq Pujié tersebutlah ia membantu Matthes untuk menyalin naskah La Galigo. Matthes mengumpulkan banyak naskah La Galigo dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan yang merupakan dari hasil perjalanannya tersebut.
Naskah I La Galigo merupakan tradisi lisan yang dituturkan dengan sureq (nyanyian). Sekuel dari naskah ini tersebar hingga ke berbagai lokasi di Sulawesi Selatan yang diantaranya dimiliki oleh kalangan bangsawan, keluarga kerajaan dan pemuka adat.
Bagi pemilik, naskah dalam akasara lontaraq Bugis menjadi bagian yang penting dan menjadi semacam identitas legitimasi atau status sosial dalam masyarakat Bugis dan Makassar.
Pada naskah I La Galigo, memiliki satuan lima suku kata pada setiap penggal frase. Penggalan tersebut tidak tersusun kebawah seperti lazimnya puisi, melainkan ditulis sambung tanpa alinea baru.
Tanda baca satu-satunya yang menjadi pengeal adalah titik tiga (pallawa) yang disusun kebawah sebagai titik, koma atau garis baru. Namun, ketika ditembangkan tanda pallawa ini menjadi pengaturan intonasi suara penyanyi.
Naskah tersebut ada yang ia pinjam, ada juga yang memberikan secara sukarela dan ada yang ia salin karena pemilik tidak ingin memberikan ataupun meminjamkannya. Colliq Pujié pun ikut membantu dengan pengetahuannya tentang bahasa dan sastra Bugis.
Selama menyalin naskah tersebut memakan waktu hingga 20 tahun lamanya. Bahkan naskah yang disalin baru 1/3 dari keseluruhan naskah La Galigo. Banyak naskah yang tidak sempat disalin karena kertasnya yang hilang ataupun rusak.
Mahakarya tersebut diselesaikan selama pengasingannya yang merupakan 12 jilid salinan naskah I La Galigo dan memiliki ketebalan mencapai 2851 halaman folio dengan panjang mencapai 300.000 baris.
Kini, naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari oleh siapa saja karena telah mendunia. Tidak hanya itu, berbagai negara telah menikmati pertunjukan teatrikal La Galigo. Tidak dapat dipungkiri bahwa La Galigo yang turut disunting oleh Colliq Pujié menjadi salah satu pengharum nama Indonesia di tingkat Internasional.
Tidak sampai disitu, La Galigo bukan satu-satunya naskah yang dibuat Colliq Pujié. Terdapat beberapa karya lain yang dibuatnya seperti Hikayat Bayan Budiman yang berperan sebagai sumber saduran, sejarah Tanété, Latoa atau kumpulan ucapan atau petuah raja, hingga sureq Baweng yakni syair indah yang terkenal di kalangan masyarakat Bugis.
Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa meninggal dunia pada tanggal 11 November 1876, ia dimakamkan di tempat ia dibesarkan, Lamuru (sekarang di Kabupaten Bone), tempat tinggal anak perempuannya yaitu I Gading. Setelah wafat, Colliq Pujié kemudian diberi gelar anumerta Matinroé ri Tucaé atau yang tidur di Tucaé.
atr16_
Sumber:
dewantara.id/colliq-pujie-mengenal-perempuan-penggerak-literatur-kuno-bugis/ Diakses pada tanggal 30 November 2021
indonesiaproud.wordpress.com/2011/12/22/colliq-pujie-perempuan-bugis-intelektual-yang-diakui-dunia/ Diakses pada tanggal 30 November 2021 lontaraproject.com/2012/01/20/pucuk-yang-terpuji-penyelamat-la-galigo-dari-negri-tanete/Diakses pada tanggal 30 November 2021