Siapa si yang lupa bahwa tanggal 10 November ditetapkan sebagai peringatan hari Pahlawan? Dimana pada masa itu negara kita sedang berjuang untuk meraih kemerdekaan, nah kali ini sekilas saya akan menceritakan bagaimana ketiga pahlawan nasional ini berjuang untuk kemerdekaan negara kita.
- Sultan Hasaanuddin
Siapa yang tak kenal dengan Raja Gowa yang kharismatik ini, memiliki nama lengkap Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe yang diberikan oleh Syeikh Sayyid Jalaludins Bin Muhammad BAfaqih Al-Aidid (seorang qadi Islam kesultanan Gowa) dan beliau mendapat gelar tambahan, yaitu Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana. Beliau diangkat menjadi raja Gowa ke-16 saat berusia 22 tahun.
Pada masa kekuasaannya, Gowa pernah terlibat dalam satu konflik besar dengan VOC. Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa jalur perdagamgan rempah rempah dari wilayah timur nusantara, dengan gigihnya Belanda berusaha mengambil alih jalur perdagangan tersebut dan menaklukkan kerajaan Gowa pada tahun 1666.
Saat itu pasukan Belanda dipimpin oleh Laksamana Cornelis Speelman, namun gagal setelah Sultan Hasanuddin yang telah naik tahta dan langsung bergerak menggabungkan kekuatan dari kerajaan-kerajaan kecil untuk melawan kompeni.
Dalam perlawanannya Sultan Hasanuddin dan pihak VOC sempat menyepakati sebuah perjanjian yang bernama perjanjian Bongaya, namun ternyata justru pejanjian itu menimbulkan kerugian besar pada kerajaan Gowa yang mengakibatkan Sultan Hasanuddin melakukan perlawanan sengit.
Salah satu hal yang paling merugikan pihak kerajaan Gowa adalah menyerahkan Benteng Ujung Pandang yang kemudian namanya di ubah menjadi Benteng Fort Rotterdam oleh pihak kompeni, perlawanan dari Sultan Hasanuddin ini merupakan pertempuran yang paling melelahkan bagi kompeni karena sangat panjang dari perjuangan ini Sultan Hasanuddin diberikan julukan sebagai De Haantjes van Het Oosten (Ayam Jantan dari Timur) karena kebereniannya.
Meskipun perjanjian Bongaya sempat disepakati pada tahun 1667, namun VOC kembali menyerang Gowa pada Maret 1668 dan berakhir ditanggal 24 Juni 1669, setelah kompeni berhasil merebut Istana Somba Opu. Kemudian pada tanggal 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin wafat karena mengidap penyakit beri-beri dan di makamkan pada pemakaman raja-raja Gowa yang berada dalam Benteng Kale Gowa, Kampung Tamalate. Tahtanya digantikan oleh putranya sendiri yang bernama Mapsasomba Daeng Nguraga Nan dengan gelar Sultan Amir Hamzah.
Semasa hidupnya, Sultan Hasanuddin dikenal sebagai orang yang rendah hati, jujur baik dari perbuatan maupun perkataannya. Begitulah akhir dari perjuangan Sultan Hasanuddin, beliau remsi diberi gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 1973.
- Ranggong Daeng Romo
Nama Ranggong Daeng Romo sangat sulit dipisahkan dari gerakan gerilya di Sulsel selama masa Revolusi Kemerdekaan. Beliau menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsch School dan Taman Siswa di Makassar, setelah sebelumnya menimba ilmu agama di salah satu pesantren Cikoang. Ranggong bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer Jepang ketika menduduki Sulawesi.
Ranggong dinobatkan menjadi salah satu orang yang memprakarsai berdirinya organisasi perjuangan di Polombangkeng oleh Karaeng Pajonga Daeng Ngalle yaitu Gerakan Pemuda Bajeng (GMB). Pada Gerakan Pemuda Bajeng, Ranggong diangkat sebagai komandan barisan pertahanan untuk wilayah Moncokomba dan merangkap sebagai Kepala Wilayah Ko’Mara.
Pada 2 April 1946, GMB berubah nama menjadi Laskar Lipan Bajeng. Tujuan dari Laskar Lipan Bajeng yaitu untuk membela, menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di organisasi ini Ranggong diangkat menjadi pimpinan dan kemudian laskar-laskar yang ada di Sulawesi Selatan bergabung menjadi Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dan Ranggong diberi kepercayaan penuh untuk memimpin dan panglima.
Pada 21 Februari 1947, Ranggong memimpin perang untuk pertama kalinya dengan kekuatan kurang lebih seratus pasukan menyerang pertahanan Belanda. Dalam peperangan tersebut, banyak tokoh LAPRIS yang meninggal dan salah satunya adalah Ranggong, Ia terbunuh pada tanggal 27 Februari 1947 kemudian jenazahnya dimakamkan di Bangkala. Pada tanggal 3 November 2001 Ranggong Daeng Romo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
- Opu Daeng Risadju
Opu Daeng Risadju adalah pahlawan perempuan dari Sulawesi Selatan yang memiliki nama kecil Famajjah. Opu Daeng Risadju sendiri adalah gelar bangsawan dari Kerajaan Luwu yang disematkan pada Famajjah. Seperti kebanyakan orang Islam pada masanya, Famajjah hanya belajar mengaji Alquran tanpa sekolah formal.
Kemudian ia menikah dengan Haji Muhammad Daud, dan dikenal dengan nama Opu Daeng Risadju. Sejak kenal dengan Haji Muhammad Yahya, Opu Daeng Risadju mulai aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Yahya merupakan seorang pedagang Sulawesi Selatan yang pernah bermukim lama di Jawa dan mendirikan PSII di Pare-pare.
Setelah bergabung dengan PSII ia dan suaminya membuka PSII di Palopo pada 14 Januari 1930, peresmian PSII di Palopo dihadiri oleh keluarga dari Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat, dan masyarakat umum.
Pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak kegiatan yang Opu Daeng Risadju lakukan di PSII, ini dikarenakan pemerintah Jepang melarang adanya kegiatan Politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk PSII dan kemudian mulai aktif lagi saat masa Revolusi Luwu.
Karena aktivitasnya di PSII, Opu Daeng Risadju dijebloskan ke dalam penjara selama 13 bulan oleh polisi Hindia-Belanda. Pertentangan ini juga datang dari petinggi Kerajaan Luwu dan Dewan Adat yang tak suka dengan aktivitasnya. Alhasil gelar kebangsawanannya dicopot.
Usai Indonesia merdeka, Opu Daeng Risadju kembali terjun ke medan perlawanan meski usiany sudah uzur dan menjadi tokoh penting dalam Perlawan Semesta Rakyat Luwu tanggal 23 Januari 1946. Nahasnya ia tertangkap dan sebagai hukumannya Opu Daeng Risadju dipaksa berjalan sejauh 40km, siksaan ini membuatnya menjadi tuli sepanjang hayatnya. Wafat pada tanggal 10 Februari 1964 diusia 84 tahun. Opu Daeng Risadju mendapatkan gelar pahlawan nasional pada 3 November 2006.
Dari ketiga tokoh pahlawan nasional diatas kita dapat mempelajari bagaimana gigihnya mereka pada masa itu melawan para penjajah yang tidak hanya ingin menguasai sumber daya alam yang ada dinegara kita, tetapi juga ingin menguasai negara kita. *RIE