Apa itu Kemanusiaan?
Kemarin, media sosial sempat ramai perihal perilaku pengguna saat uji coba Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta. Ada pengguna yang melihat pengguna lain tidak tertib dan mengganggu kenyamanan. Dia memfoto lalu mengunggah kejadian tersebut di media sosial, tak lupa dengan caption yang pada akhirnya menjadi kontroversi. Orang-orang yang menemukan unggahan tersebut memberikan banyak respon dari yang sependapat hingga kontra. Selama beberapa hari hal tersebut terus menjadi perdebatan di media sosial dan merembet ke berbagai hal.
Jika kalian mengikuti perdebatan yang saya maksud, kalian akan dengan mudah menemukan orang-orang yang menghina satu sama lain, merendahkan yang lain, dan merasa lebih benar dan pintar. Fenomena tersebut mungkin sudah berlangsung lebih lama sebelum perihal MRT ini. Namun yang menjadi poin adalah: Apakah memang sifat manusia seperti itu? Apakah sifat tersebut termasuk sifat-sifat yang ada dalam pengertian kemanusiaan?
Sebagian besar dari kita pasti akan mengatakan bahwa sifat tersebut bukanlah sesuatu yang mencerminkan kemanusiaan. Jika kita sepakat pada pernyataan ini, sifat-sifat seperti apa yang disebut kemanusiaan? Sifat-sifat seperti apa yang menjadikan manusia sebagai manusia? Bukankah sifat yang disebutkan sebelumnya adalah bentuk dari manusiawi? Apakah manusiawi tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai manusia?
Beberapa hari sebelum ramai-ramai perihal uji coba MRT, ada kejadian yang lebih menggemparkan. Pada 15 Maret 2019, tragedi mengerikan terjadi di Christchurch, Selandia Baru. Saat penduduk muslim kota tersebut sedang menjalankan ibadah shalat Jumat, sekelompok orang melakukan tindakan terorisme yang menewaskan 50 orang. Lagi-lagi kata kemanusiaan bergulir dengan mudah di berbagai media.
Salah satu yang cukup viral tentang tragedi di Christchruch adalah sebuah pernyataan dari politikus Australia tentang kejadian tersebut. Pernyataannya menuai kontroversi karena dia menilai tragedi tersebut terjadi karena kebijakan pemerintah yang mengizinkan imigran tinggal di negaranya. Banyak yang kecewa dan marah dengan pernyataannya. Orang menyebutnya tidak punya kemanusiaan lagi.
Kemanusiaan sering disebut ketika ada tragedi-tragedi besar seperti pembunuhan massal, bencana yang memakan banyak korban, orang-orang yang tertindas, dan tragedi lainnya yang membuat kita sebagai manusia seharusnya merasa sedih. Orang-orang menyebut kepedulian kita terhadap tragedi tersebut bukan sekadar simpati, tapi tindakan kemanusiaan. Semua bentuk kesedihan kita, bahkan kemarahan kita, adalah bentuk kemanusiaan.
Dari hal-hal yang sering kita alami, yang sering kita saksikan, kemanusiaan lebih disandarkan pada sifat-sifat baik manusia. Ketika seseorang dengan baik hati menolong orang yang kesusahan, kita menyebutnya sebagai kemanusiaan. Namun, baik dan buruk bisa menjadi sesuatu yang sangat relatif, bukan? Sesuatu yang ditentukan oleh keyakinan masing-masing orang dan dikuatkan oleh kesepakatan sekelompok orang.
Bagaiman jika sesuatu yang kita sebut buruk diyakini sekelompok orang yang menganggapnya baik. Dan jika mereka memperjuangkan hal yang dianggap baik itu, apakah kita bisa menyebutnya tindakan kemanusiaan? Apakah algojo yang mengeksekusi mati seseorang karena kejahatannya, bisa kita sebut sebagai tindakan kemanusiaan? Apakah seseorang yang memukul orang lain karena temannya dipukul orang lain tersebut karena orang lain tersebut dipukul lebih dulu adalah sebuah tindakan kemanusiaan?
Kemanusiaan adalah sebuah konsep yang rumit tapi kita selalu dengan mudah mengatakannya seperti menyebutkan nama kita sendiri. Kemanusiaan yang selalu diajarkan kepada kita sejak kecil mungkin selalu identik dengan kebaikan manusia. Apakah kemanusiaan sekedar kata yang terkesan keren untuk postingan di sebuah status Facebook tanpa keharusan menjalankannya secara kaffah?
Bagi saya definisi kemanusiaan adalah ketika tidak ada lagi label, selain label manusia itu sendiri. Walaupun dia Islam, Buddha, Hindu, atau Kristen. Biarpun ia hitam, kuning, atau putih. Tidak memandang gender dan orientasi seksual. Jawa, Bugis, Papua, Manhattan, Kalahari, atau Antartika. Wanita atau laki-laki. Tapi Pertanyannya adalah, konsistenkah kita bicara kemanusiaan itu?
Kemanusiaan juga seharusnya tidak terjadi ketika orang hanya membela sesama golongan. Apakah orang beragama Islam tertantang membela kemanusiaan seorang Kristen? Apakah ketika bom yang jatuh di perkampungan Yahudi penuh anak kecil, orang muslim akan berbicara kemanusiaan bagi si bocah Yahudi dan sebaliknya?
Tantangan kemanusiaan adalah membela tanpa memandang label. Label yang meletakkan manusia ke dalam kotak-kotak. Jika dalam novel Supernova tubuh manusia adalah penjara, maka mampukah kita lepas darinya dan melihat semua hal secara jelas dari sudut yang seimbang?
di dalam film Da Vinci Code ketika Robert Langdon mengatakan bahwa ‘tujuan mempelajari sejarah adalah agar manusia tidak membunuh satu sama lain’. Soe Hok Gie juga pernah mengatakan ‘Sejarah Manusia adalah Sejarah Penderitaan’. Mampukah kita melepas beban sejarah sebagai organisme barbar yang memakan bangkai sesama itu?
Saya membayangkan John Lennon bersenandung ‘you may say i’m a dreamer but I’m not the only one,’ dan sadar dunia ini begitu rapuh. Sementara, manusia berdiri di atasnya. Di antara mereka banyak yang menggerogoti kayunya, tapi juga tak sedikit yang masih bertahan menahan pondasi. (*aws)
on April 3, 2019