Kemajuan Teknologi membawa berbagai implikasi yang cukup kompleks dalam kehidupan manusia dan hubungan antar negara. Semenjak maraknya pola komunikasi melalui dunia maya ataupun internet, batas-batas konvensional yang dulu dianut dan dipatuhi oleh kesepakatan internasional telah menjadi semu.
Spektrum ancaman saat ini menjadi semakin luas. Salah satu penyebabnya adalah melebarnya ruang maya dengan berbagai macam aplikasi internet yang saling berinteraksi satu sama lain dan juga didukung dengan semakin bertambahnya pengguna internet. Oleh karena itu, tahun 2020 ini menjadi langkah dan tantangan serius bagi kita dalam membangun suatu budaya yang mencerminkan nilai-nilai kemajuan teknologi. Nilai-nilai kemajuan teknologi itu adalah dengan mengutamakan nalar dan akal sehat serta menajamkan literasi media di dunia maya.
Dengan jaringan yang saling berinteraksi di ruang maya kini, kerap kita menyaksikan berbagai macam masalah dan konflik yang bisa menyebabkan disintegrasi dan perpecahan. Terutama hal tersebut timbul dari aksi pihak-pihak tertentu untuk meraih keuntungan dari kerumunan pengguna internet dari berbagai kalangan dan latar belakang yang beragam. Cyber crime, pornografi, ataupun konten radikalisme yang sampai dengan terorisme menjadikan internet sebagai media penyebarannya. Dengan perkembangan jaman dan teknologi tersebut, maka pola serangan terorisme pun berubah. Terorisme mulai memanfaatkan dunia maya ataupun internet sebagai wahana dalam melakukan berbagai macam aksi. Aksi teror yang dilakukan oleh kelompok teroris tidak hanya menyerang target yang nampak secara fisik, namun juga psikologi dan mindset seseorang. Kelompok teroris memanfaatkan berbagai fitur yang tersedia di internet sebagai alat untuk melakukan berbagai macam kegiatan dengan tujuan radikalisasi agama.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh internal BNPT, menunjukkan bahwa ladang utama kelompok ISIS adalah dunia maya. ISIS bahkan mengalokasikan hampir 50% lebih keuangannya untuk kepentingan media. Pada tahun 2014, ISIS telah menjadi kelompok yang paling aktif memanfaatkan media sosial sebagai alat propaganda dan rekrutmen anggota. Dari rilis penelitian oleh Brookings Institutute dinyatakan bahwa paling sedikit 46.000 akun Twitter dinyatakan terkait dengan para pendukung ISIS. Akun-akun ISIS tersebut rata-rata memiliki lebih dari 1.000 followers.
Aktivitas cyberterorism melakukan banyak kegiatan lewat dunia maya, seperti, cyber recruitment (rekrutmen lewat dunia maya) dan cyber training (pelatihan lewat dunia maya). Mereka juga membuat cyber operation (operasi lewat dunia maya), yakni melakukan survei target dan pendanaan terorisme dalam jaringan. Perkembangan dunia teknologi internet telah benar-benar dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk mengembangkan gerakannya.
Beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa Web 2.0 media seperti website interaktif dan blog, situs jejaring sosial dan forum diskusi telah dengan cepat digunakan oleh ekstrimis sebagai media untuk mendukung kegiatan online mereka. Radikalisasi dan ekstremisme di dunia maya, bagaimanapun, dapat menyebabkan terorisme. Sehingga penting untuk memahami radikalisasi online sebagai salah satu pilar dari perang melawan terorisme. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mencegah yang moderat menjadi ekstrimis, dan dari ekstremis menjadi teroris. Ancaman dari terorisme harus dianalisis sebelum mereka berkembang menjadi ancaman total. Banyak aktor yang telah diplot gagal, telah ditemukan aktif dalam situs-situs dan web radikal online, pada situs teroris dan ekstremis’ serta chat room, di mana mereka akan memberikan informasi tentang senjata dan bahan peledak dan memfasilitasi upaya perekrutan besar-besaran dan propaganda kepada masyarakat.
Internet menjadi echo chamber bagi ideologi radikal. Internet membantu para pengguna untuk memperoleh materi-materi yang menarik, termasuk propaganda terorisme secara lebih mudah melalui situs-situs tertentu, blog, jejaring sosial, form internet, fasilitas chat, juga video streaming. Internet mempercepat proses radikalisasi. Dalam hal ini internet telah memberikan kemudahan bagi seseorang untuk memperoleh informasi dan propaganda radikalisme dan Internet telah membuka peluang terjadinya radikalisasi tanpa memerlukan kontak fisik.
Apabila kita ingin meneropong masa lalu, kasus Cyber Crime di Indonesia seperti aksi deface, pencurian credit card, pishing, dan sebagainya yang rata-rata korbannya merupakan pihak luar/negara lain, namun belakangan ini, seiring trend teknologi yang berkembang cepat, juga lebih diwarnai dengan banyaknya penyebaran paham-paham Radikalisme dan Hoax yang dilakukan oleh bangsa sendiri dan korbannya bangsa sendiri. Hal tersebut sangat berbahaya, perlu kedewasaan dan kemapanan literasi media pengguna, rendahnya literasi media kemungkinan akan menjadi salah satu penyebab penyebaran hoax ataupun paham radikalisme di negeri ini merajalela.
Maraknya propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet tidak dapat ditanggulangi hanya dengan menggunakan pendekatan hukum. Penanggulangan propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet membutuhkan peran seluruh kalangan, yaitu dengan melakukan gerakan literasi media. Media telah menjadi pilar keempat dalam demokrasi. Maka dari itu, cerdas media menjadi ekspresi yang sangat diperlukan bagi warga masyarakat dalam demokrasi. Literasi media (media literacy), muncul sejak tahun 1970-an. Literasi media adalah kemampuan masyarakat untuk mengakses, menganalisa, dan memproduksi informasi untuk hasil yang spesifik. Literasi media menekankan kemampuan seseorang berpikir secara kritis dan memungkinan orang tersebut untuk membuat sebuah keputusan yang berhubungan dengan program media yang dipilih serta cara menginterpretasikan informasi yang diterima melalui media massa. Literasi media menjadi alternatif bagi kebijakan sensor yang banyak dikatakan sebagai pembatasan terhadap hak mendapatkan informasi.
Literasi media menjadi hal penting sebagai perisai dari masyarakat dalam melakukan aktifitas di dunia maya, kedewasaan diri di dunia maya dibelaki dengan literasi media menjadikan kita mempunyai kemampuan untuk menyaring atau mengabaikan luapan banjir informasi di dunia maya yang menyesatkan, dengan kemampuan memilah informasi yang benar dan bermanfaat pula menjadikan masyarakat semakin dewasa di dunia maya, terhindar dari dampak negatif dunia maya. (*AWS)
Referensi :
– Bagus Artiadi Soewardi, (2013) Perlunya pembangunan Sistem Pertahanan Siber (Cyber Defense) yang Tangguh bagi Indonesia. Media Informasi Ditjen Pothan Kemhan
– Benedicta Dian Ariska Candra Sari (2017) Literacy Media In The Counter of Radicalism Propaganda and TErrorism Through Internet Media, Jurnal Prodi Perang Asimetris Volume 3 Nomor 1
– Bhakti, Agus Surya. (2016). Deradikalisasi Dunia Maya, Mencegah Simbiosis Terorisme dan Media. Jakarta: Daulat Press.
– Ida Rochmawati, (2016) “Cyber Terorisme dan Eksistensi Gerakan Terorisme Kelompok Islam Radikal di Indonesia. Inovatif. Volume 2 No. 1
– Sidney Jones, “Teroris Sekarang Amatiran” http://nasional.kompas.com/read/2013, diakses 24 Januari 2020
– Silverblatt, Art, Andrew Smith, Don Millter, Julie Smith, Nikole Brown .(2014). Media Literacy: Keys to Interpreting Media Message. England: Preager.