Gunung itu lebih dari sekadar tumpukan batu raksasa yang menjulang ke langit. Ia adalah simbol kekuatan, keabadian, dan misteri. Tapi sayangnya, gunung juga menjadi saksi bisu dari kegagalan kita sebagai manusia adalah kegagalan untuk benar-benar memahami dan menjaga alam yang kita daki. Di Hari Gunung Internasional ini, mari kita renungkan apa arti gunung, baik sebagai keindahan yang menakjubkan maupun tanggung jawab besar yang sering kali kita abaikan.
Di dunia ini, gunung tertinggi adalah Mount Everest, berdiri gagah di perbatasan Nepal dan Tibet dengan ketinggian 8.849 meter. Everest telah menjadi impian para pendaki dari seluruh penjuru dunia, tapi mimpi itu sering kali berujung pada tragedi.
Hingga kini, tercatat lebih dari 300 pendaki kehilangan nyawa mereka di gunung ini, banyak di antaranya meninggalkan tubuh mereka yang tak bisa dievakuasi, membeku menjadi bagian dari lanskap es yang dingin.
Di Indonesia, gunung tertinggi adalah Puncak Jaya (Carstensz Pyramid) di Papua, dengan ketinggian 4.884 meter. Gunung ini adalah salah satu dari Seven Summits dunia, membuatnya jadi magnet bagi para pendaki internasional. Tapi bukan hanya tinggi yang memukau dari Indonesia.
Kita juga punya Pegunungan Bukit Barisan di Sumatra, yang membentang sepanjang 1.700 kilometer, terpanjang di nusantara. Pegunungan ini adalah paru-paru kehidupan bagi ribuan spesies flora dan fauna, tetapi juga menjadi saksi bisu dari ulah manusia yang sering kali merusak harmoni alam.
Sayangnya, pendakian gunung sering kali berubah menjadi perjalanan ego manusia, bukan penghormatan pada alam. Di Indonesia sendiri, Gunung Semeru yang indah di Jawa Timur telah menjadi lokasi favorit para pendaki, tapi juga lokasi di mana banyak nyawa melayang. Pada 2021, erupsi Semeru menelan lebih dari 50 korban jiwa. Sementara di gunung-gunung lain, pendaki yang kehilangan arah atau gagal mempersiapkan diri sering kali berakhir tragis. Data menunjukkan, setiap tahun ada belasan pendaki yang meninggal di gunung-gunung Indonesia.
Yang menyedihkan, pendakian gunung tidak lagi hanya tentang menikmati keindahan alam, tetapi sering kali menjadi ajang pamer di media sosial. Sampah yang ditinggalkan, flora yang dirusak, hingga fauna yang terganggu. Semua menjadi bukti bahwa banyak dari kita gagal memahami esensi mendaki. Gunung adalah rumah bagi ekosistem yang kompleks, bukan panggung untuk ego manusia.
Namun, masih ada harapan. Banyak komunitas pendaki yang mulai bergerak untuk mengedukasi para pendaki pemula tentang pentingnya etika mendaki. Gerakan seperti leave no trace (tidak meninggalkan jejak) mulai digaungkan di kalangan para pecinta alam.
Ini adalah langkah kecil, tetapi penting, untuk mengingatkan kita bahwa mendaki gunung bukan hanya tentang menaklukkan puncak, tapi tentang menjaga dan menghormati apa yang ada di sepanjang perjalanan.
Hari Gunung Internasional ini seharusnya menjadi momen refleksi, bukan hanya selebrasi. Gunung mengajarkan kita tentang ketabahan, kesabaran, dan keindahan yang sederhana. Tapi, apakah kita sudah belajar? Apakah kita sudah menghormati pelajaran itu? Atau justru, kita hanya sibuk memikirkan apa yang bisa kita ambil tanpa memberikan apa-apa kembali?
Bagi mereka yang ingin mendaki, ingatlah bahwa gunung bukanlah tempat untuk ditaklukkan, melainkan untuk dihormati. Bawalah pulang hanya kenangan, tinggalkan hanya jejak kaki, dan bawa kembali sampahmu. Karena pada akhirnya, gunung itu abadi, tetapi jejak yang kita tinggalkan bisa berdampak jauh lebih lama dari perjalanan kita.
Jadi, di Hari Gunung Internasional ini, mari kita jadikan pendakian sebagai perjalanan jiwa, bukan sekadar perjalanan fisik. Gunung tidak membutuhkan kita, tetapi kita membutuhkan gunung untuk oksigen, untuk air, dan untuk pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih baik.
Mari kita mendaki, bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk merawat dan menjaga keindahan alam yang telah memberi kita begitu banyak.