Di tengah janji besar hilirisasi sumber daya, Papua kembali menjadi pusat perhatian. Pasangan Prabowo-Gibran membawa agenda diversifikasi ekonomi yang konon akan membawa kemajuan bagi Papua melalui peningkatan nilai tambah industri. Sorong, dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang direncanakan, diproyeksikan menjadi pusat aktivitas ekonomi baru. Namun, apa sebenarnya biaya sosial dan lingkungan dari janji ini?
KEK Sorong memiliki daya tarik ekonomi yang kuat, terutama bagi investor nasional maupun asing. Namun, di balik daya tarik ini, muncul pertanyaan besar yaitu siapa yang sebenarnya akan mendapatkan manfaat utama dari pembangunan ini? Apakah masyarakat adat Papua akan benar-benar mendapat keuntungan atau justru hanya melihat sumber daya mereka dieksploitasi oleh pihak luar?
Berbagai industri telah ditargetkan untuk menjadi roda penggerak ekonomi Papua, mulai dari perikanan, kehutanan, hingga industri maritim. Namun, antara janji diversifikasi dan kenyataan di lapangan, terdapat ketimpangan yang sulit diabaikan. Di satu sisi, pemerintah berupaya mempercepat hilirisasi dengan eksploitasi sumber daya lokal, sementara di sisi lain, keutuhan ekosistem Papua yang unik menjadi taruhan besar dalam rencana ini.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia telah menetapkan target ambisius untuk hilirisasi Papua. Namun, banyak pihak khawatir bahwa target ini akan membawa implikasi lingkungan yang berat. Apakah Papua akan benar-benar menikmati manfaatnya atau justru menghadapi kerusakan alam yang parah? Sumber daya alam Papua tidak hanya kaya tetapi juga rapuh, sehingga proses hilirisasi membutuhkan pendekatan yang hati-hati agar keberlanjutan tetap terjaga.
Berbagai sektor seperti perikanan, kehutanan, dan maritim memiliki potensi besar untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Namun, apakah potensi ini bisa diwujudkan tanpa mengorbankan ekosistem lokal? Pengembangan industri berkelanjutan di sektor-sektor ini bukanlah hal yang mudah. Keseimbangan antara ekstraksi sumber daya dan pelestarian lingkungan adalah tantangan besar yang harus dihadapi pemerintah.
Kekhawatiran mengenai potensi eksploitasi berlebihan menjadi sorotan, terutama dengan rencana untuk mengembangkan industri gula dan bioetanol. Proyek-proyek seperti ini berisiko menguras sumber daya alam dalam jangka panjang. Papua, dengan sumber dayanya yang kaya, bisa menjadi korban eksploitasi jika hilirisasi tidak dikelola dengan bijaksana.
Selain itu, perkembangan ekonomi yang direncanakan sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan dan kapasitas masyarakat setempat. Banyak dari rencana ini tampak dipaksakan tanpa memperhatikan kenyataan di lapangan. Apa yang menjadi prioritas bagi masyarakat adat sering kali berbeda dengan tujuan pembangunan yang dibawa dari luar. Apakah proyek ini benar-benar inklusif dan memberi manfaat bagi masyarakat Papua?
Di sisi lain, pendekatan pembangunan yang dipimpin komunitas justru lebih menjanjikan hasil yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Pembangunan yang benar-benar mendengarkan suara masyarakat adat jauh lebih berkelanjutan dan memberikan dampak positif dalam jangka panjang. Masyarakat Papua telah lama memiliki hubungan yang erat dengan alam, dan mereka lebih memahami cara menjaga kelestariannya dibandingkan dengan pihak luar.
Penting juga untuk melihat sisi positif dan negatif dari hilirisasi ini. Meskipun ekonomi Papua bisa mendapat keuntungan, dampak terhadap budaya dan ekologi setempat tidak boleh diabaikan. Setiap langkah hilirisasi harus mempertimbangkan apakah manfaat ekonominya sepadan dengan risiko hilangnya kearifan lokal dan keseimbangan alam yang sudah ada.
Inspirasi dari industri berkelanjutan di seluruh dunia bisa menjadi contoh bagi Papua. Di berbagai negara, konsep pembangunan yang memprioritaskan pelestarian alam dan keterlibatan masyarakat lokal terbukti efektif. Papua membutuhkan pendekatan serupa, yang tidak hanya fokus pada hasil ekonomi tetapi juga pada perlindungan lingkungan dan budaya.
Suara masyarakat adat harus menjadi prioritas dalam setiap strategi pembangunan di Papua. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Papua adalah kunci untuk mewujudkan pembangunan yang seimbang. Jika suara mereka didengar, maka proyek hilirisasi ini tidak hanya akan menjadi janji semu tetapi bisa memberikan dampak positif nyata bagi masyarakat lokal.
Hilirisasi di Papua seharusnya tidak hanya soal keuntungan ekonomi, tetapi juga pemberdayaan sosial dan kultural yang sejati.