Patung Sultan Hasanuddin yang berdiri megah di depan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar bukan hanya sekadar ornamen kota, tetapi juga melambangkan keberanian dan semangat nasionalisme masyarakat Sulawesi Selatan. Sultan Hasanuddin, yang dikenal sebagai “Ayam Jantan dari Timur,” berperan penting dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Kerajaan Gowa dari penjajahan Belanda pada abad ke-17. Julukan “Ayam Jantan dari Timur” diberikan oleh Belanda, yang dikenal dalam bahasa Belanda sebagai De Haantjes van Het Oosten, mencerminkan keberanian Sultan Hasanuddin dalam melawan kekuasaan Belanda.
Mengutip dari repositori UIN Sunan Ampel Surabaya, salah satu peristiwa penting yang menegaskan julukan “Ayam Jantan dari timur” adalah peristiwa Enkhuizen pertama yang terjadi pada 2 April 1615. Peristiwa ini diawali oleh kedatangan kapal Belanda bernama Enkhuizen di Pelabuhan Somba Opu di bawah pimpinan Dirk de Vries. Saat itu, Kerajaan Gowa berusaha menjaga perdamaian, tetapi setelah mengalami penindasan, Sultan Hasanuddin memutuskan untuk menutup kantor dagang VOC di Somba Opu.
VOC kemudian melarang orang-orang Makassar melakukan perdagangan di Kepulauan Maluku, yang semakin menunjukkan niat Belanda untuk menguasai wilayah tersebut. Sultan Hasanuddin, yang kala itu memimpin Kerajaan Gowa, menyatakan bahwa dunia dan laut diciptakan untuk seluruh umat manusia. Beliau tidak terima dengan tindakan sewenang-wenang Belanda dan memutuskan untuk melawan mereka demi kebebasan rakyatnya. Kerajaan Gowa mengalami masa kejayaan di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Ia berhasil melawan penjajahan Belanda dan berjuang demi rakyatnya, membangun kekuatan untuk mempertahankan kedaulatan kerajaannya.
Melansir dari laman resmi Pemerintah Kota Makassar, patung Sultan Hasanuddin ini memiliki makna yang lebuh dalam, dibuat sebagai bentuk rasa bangga masyarakat Sulawesi Selatan karena Sultan Hasanuddin dianggap sebagai sosok pahlawan nasional pemersatu bangsa. Ia mencerminkan semangat perjuangan dan persatuan bangsa, mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk kemerdekaan merupakan bagian penting dari identitas kita sebagai warga negara. Berada di lokasi strategis, patung ini menyambut setiap orang yang datang ke Makassar, mengajak pengunjung untuk merenungkan sejarah dan makna perjuangan bangsa.
Sultan Hasanuddin juga dikenal sebagai simbol nasionalisme. Patungnya tidak hanya sekadar merepresentasikan perjuangan melawan penjajahan, tetapi juga menciptakan rasa persatuan di antara masyarakat Indonesia. Masyarakat diajak untuk menghargai sejarah dan mengingat pentingnya menjaga kesatuan dan kedaulatan negara melalui kehadiran dari patung ini.
Selain itu, patung Sultan Hasanuddin juga dapat ditemukan di berbagai lokasi penting lainnya di Sulawesi Selatan, seperti Benteng Rotterdam dan Pantai Losari. Patung Sultan Hasanuddin yang berlokasi di Benteng Rotterdam, menggambarkan Sultan yang gagah menunggangi kuda, melambangkan keberanian dan kepemimpinan dalam menghadapi penjajah. Terdapat juga di kawasan “Sang Pahlawan” di Kabupaten Gowa, patung ini memperkuat hubungan emosional masyarakat dengan sejarah perjuangan mereka.
Patung terbaru di Pantai Losari semakin menambah kehadiran simbolis Sultan Hasanuddin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Terletak di tempat wisata yang ramai, patung ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai kepahlawanan dan nasionalisme tetap relevan, terutama bagi generasi muda. Pengunjung yang datang ke Pantai Losari dapat belajar tentang perjuangan Sultan Hasanuddin dan terinspirasi untuk meneruskan nilai-nilai keberanian dan cinta tanah air.
Melalui kehadiran patung Sultan Hasanuddin, masyarakat Sulawesi Selatan dan Indonesia secara keseluruhan diingatkan akan pentingnya perlawanan terhadap ketidakadilan dan semangat kebangsaan yang takkan pudar. Patung ini bukan hanya sekadar monumen, tetapi simbol keberanian, kebanggaan dan inspirasi bagi setiap orang yang menghargai sejarah, identitas dan nilai-nilai kebangsaan. Patung ini akan terus menginspirasi masyarakat untuk menjaga keberanian dan integritas, serta menghormati warisan budaya yang telah ditinggalkan oleh para pahlawan.
Penulis: Riska