Kasus yang menimpa Ibu Supriyani, S.Pd., guru di SDN Baito, Konawe Selatan, jadi bukti nyata betapa rentannya posisi guru dalam sistem pendidikan kita. Hanya karena menegur siswa nakal, beliau malah dilaporkan dan dipenjara. Lebih parah lagi, siswa tersebut mengaku mendapat kekerasan fisik meskipun kronologi sebenarnya hanya teguran biasa.
Namun, sang orang tua yang kebetulan anggota polisi justru memutarbalikkan fakta. Permintaan maaf Ibu Supriyani dan kepala sekolah yang diniatkan untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan malah dijadikan senjata. Bukannya masalah beres, Ibu Supriyani justru ditahan dengan tuduhan yang tiba-tiba sudah lengkap tanpa pemberitahuan.
Kejadian ini menyayat hati. Bayangkan, seorang guru yang sedang mengabdi sebagai honorer dan berharap segera diangkat P3K, kini harus mendekam di tahanan. Bahkan, ketika datang ke rumah siswa untuk meminta maaf, orang tua siswa tersebut meminta uang Rp 50 juta dan mendesak agar guru ini dipecat. Namun, karena Ibu Supriyani yakin dia tidak bersalah, dia menolak memenuhi tuntutan. Pihak sekolah juga menolak memecat beliau karena merasa apa yang terjadi masih dalam batas wajar. Tapi, keteguhan hati ini malah berujung pada penahanan mendadak tanpa proses yang transparan.
Peran orang tua dalam mendidik anak seharusnya menjadi pondasi utama. Banyak anak berperilaku buruk di sekolah bukan karena sistem pendidikan yang salah, tapi karena kurangnya pendidikan moral dan adab di rumah. Dalam kasus ini, siswa tersebut dikenal nakal. Teguran dari Ibu Supriyani sebenarnya bagian dari tugas seorang guru untuk membentuk disiplin. Tapi kalau orang tua malah melindungi perilaku buruk anaknya, bagaimana anak bisa belajar untuk hormat dan bertanggung jawab?
Kasus ini membuka mata kita tentang betapa rapuhnya perlindungan bagi tenaga pendidik. Ketika guru mencoba menjalankan tugas dengan tegas, mereka justru berisiko menghadapi hukuman atau kriminalisasi. Bagaimana pendidikan bisa berkembang kalau guru merasa takut mengambil tindakan disiplin? Jika setiap teguran dianggap sebagai bentuk kekerasan, lalu siapa yang akan mendidik anak-anak kita untuk menghormati norma dan aturan?
Masalah ini juga memperlihatkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya menghargai profesi guru. Guru-guru seperti Ibu Supriyani bukan hanya mendidik di kelas, tapi juga harus menghadapi tantangan di luar sekolah, termasuk tuntutan dan ancaman seperti ini. Sistem pendidikan akan lumpuh kalau guru selalu jadi korban tanpa ada dukungan dan perlindungan hukum yang jelas.
Mendidik anak bukan hanya tugas guru, tapi juga tanggung jawab orang tua. Sekolah bukan sekadar tempat menitipkan anak, melainkan ruang kolaborasi antara guru dan orang tua untuk membentuk generasi masa depan. Kalau kolaborasi ini rusak, seperti yang terjadi dalam kasus ini, anak-anak akan tumbuh tanpa rasa hormat terhadap otoritas. Pada akhirnya, bukan hanya guru yang rugi, tapi juga anak itu sendiri dan masyarakat luas.
Ibu Supriyani adalah simbol perjuangan guru-guru di Indonesia. Kasus ini tidak hanya tentang dia, tapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan guru sebagai ujung tombak pendidikan. Masyarakat harus aktif mengawal kasus ini agar tidak ada lagi kekecewaan dan kekacauan dalam implementasi hukum. Perlindungan guru adalah investasi untuk masa depan pendidikan yang lebih baik.
Penting bagi kita semua untuk memastikan bahwa pendidikan tidak berhenti hanya di sekolah. Anak-anak perlu diajarkan adab dan moral sejak dini di rumah, sehingga mereka siap menerima pendidikan formal di sekolah dengan sikap yang baik. Pendidikan moral tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada guru. Ketika orang tua gagal menjalankan peran ini, guru yang akhirnya menanggung beban.
Sistem hukum juga perlu dievaluasi agar lebih adil dan berpihak pada kebenaran. Kasus Ibu Supriyani harus jadi pelajaran penting bahwa proses hukum tidak boleh berat sebelah hanya karena ada kekuasaan di pihak pelapor. Guru harus merasa aman dan terlindungi saat menjalankan tugas mendidik.
Program pendidikan dan regulasi perlindungan guru harus lebih tegas dan jelas. Pemerintah perlu memastikan bahwa kejadian seperti ini tidak terulang. Guru adalah aset bangsa, dan kita harus berdiri di samping mereka, bukan melawan mereka.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa pendidikan anak adalah kerja tim. Guru dan orang tua harus berada di satu barisan untuk mencetak generasi penerus yang berkualitas. Tidak ada tempat untuk ego dan arogansi dalam dunia pendidikan.
Setiap kasus seperti ini harus jadi panggilan bagi kita semua untuk bergerak. Jangan biarkan ketidakadilan menimpa orang-orang yang bekerja keras untuk membangun masa depan bangsa. Mari kita kawal kasus Ibu Supriyani sampai keadilan benar-benar ditegakkan.
Indonesia butuh lebih banyak guru seperti Ibu Supriyani, guru yang berani mendidik dengan tegas dan penuh tanggung jawab. Tapi, kita juga butuh masyarakat yang menghargai mereka dan sistem yang melindungi mereka dari kriminalisasi yang tidak adil.
Masa depan pendidikan kita ditentukan dari cara kita memperlakukan para guru hari ini. Dukungan dan solidaritas harus terus diberikan agar tidak ada lagi guru yang diperlakukan semena-mena. Kasus ini bukan hanya tentang Ibu Supriyani, tapi tentang nasib pendidikan Indonesia.
Perjuangan ini belum selesai. Kita akan terus mengawal agar tidak ada lagi kekecewaan dan kekacauan dalam implementasi program pendidikan dan penegakan hukum. Karena masa depan pendidikan Indonesia ada di tangan guru, dan keadilan bagi mereka adalah keadilan bagi kita semua.
Nurikrimah