Pertemuan antara Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, dengan Yang Dipertuan Agong Malaysia, Sultan Ibrahim Ibni Sultan Iskandar, di Istana Negara Kuala Lumpur pada 17 September 2024, mengandung makna mendalam bagi hubungan kedua bangsa, terutama dari perspektif asas Bugis yang menjunjung tinggi perdamaian dan kemanusiaan.
Kedua tokoh ini, yang sama-sama memiliki darah Bugis, memperlihatkan bagaimana nilai-nilai luhur etnis Bugis dapat menjadi landasan dalam menjaga hubungan antarnegara yang harmonis dan penuh penghormatan.
Sebagai tokoh Bugis, JK dan Sultan Ibrahim mewarisi semangat siri’ na pacce, sebuah prinsip dalam budaya Bugis yang mengutamakan harga diri (siri’) dan empati terhadap sesama (pacce). Siri’ berarti menjaga martabat, sedangkan pacce mencerminkan kepedulian yang mendalam terhadap penderitaan orang lain.
Dalam pertemuan mereka, kedua tokoh ini tidak hanya mendiskusikan politik antarbangsa, tetapi juga memaknai pentingnya menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan kebersamaan yang menjadi inti dari asas Bugis tersebut.
JK, sebagai tokoh yang dikenal dengan perannya dalam berbagai proses perdamaian, dari konflik Aceh hingga Poso, selalu mengedepankan pendekatan dialog. Ia percaya bahwa perdamaian hanya bisa dicapai jika ada rasa saling menghormati dan pengertian di antara semua pihak.
Hal ini selaras dengan filosofi Bugis yang menempatkan keharmonisan dan keadilan sebagai tujuan utama dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, JK melihat hubungan Indonesia-Malaysia, terutama Johor dan Sulawesi Selatan, sebagai salah satu bentuk nyata dari persaudaraan yang harus terus diperkuat.
Dalam pertemuan tersebut, JK menekankan pentingnya kerja sama pendidikan dan kebudayaan antara kedua negara, khususnya antara Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Kesultanan Johor. Pendidikan, bagi JK, adalah jembatan untuk menciptakan generasi yang mampu berpikir kritis dan memahami pentingnya hidup dalam kedamaian. Ia percaya bahwa melalui pendidikan, nilai-nilai kemanusiaan seperti toleransi dan saling menghormati dapat diajarkan dan diwariskan ke generasi berikutnya.
Sultan Ibrahim, yang juga memiliki garis keturunan Bugis, tidak hanya berperan sebagai kepala negara Malaysia tetapi juga sebagai simbol dari keterikatan budaya antara Johor dan Sulawesi Selatan. Perspektifnya yang luas terhadap hubungan antarbangsa, terutama dalam konteks serumpun, menunjukkan bahwa asas Bugis tentang perdamaian dan kemanusiaan masih relevan dan dapat diaplikasikan dalam hubungan internasional saat ini. Sultan Ibrahim tidak hanya mengutamakan diplomasi formal, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan melalui penguatan ikatan budaya.
Dalam konteks budaya Bugis, kepemimpinan bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi tentang tanggung jawab untuk melindungi dan menjaga kesejahteraan orang lain. JK dan Sultan Ibrahim memperlihatkan bagaimana nilai ini diterapkan dalam peran mereka sebagai pemimpin.
Mereka bukan hanya tokoh politik, tetapi juga pemimpin yang memahami pentingnya menjaga keharmonisan di tengah perbedaan. Mereka menyadari bahwa kekuatan sesungguhnya ada pada kemampuan untuk mengedepankan dialog dan kerja sama, bukan konflik.
Nilai pacce yang dipegang kuat oleh kedua tokoh ini menjadi dasar bagi upaya mereka untuk terus memperkuat hubungan Indonesia-Malaysia. Pacce, atau rasa empati, mengajarkan bahwa kita harus merasa sakit jika melihat orang lain menderita.
Filosofi ini sangat mendalam dan menjadi inti dari bagaimana JK menjalankan peran sebagai mediator perdamaian di berbagai konflik. Pacce menuntut kita untuk bertindak bukan hanya demi diri sendiri, tetapi demi kepentingan bersama.
Dalam pertemuan ini, JK dan Sultan Ibrahim tidak hanya berdiskusi tentang kerja sama bilateral, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai Bugis dapat terus hidup dan berkembang dalam konteks modern. Mereka percaya bahwa nilai siri’ na pacce tidak hanya relevan di tingkat lokal, tetapi juga dalam hubungan antarnegara. Filosofi ini bisa menjadi landasan untuk menciptakan dunia yang lebih damai, di mana martabat manusia dijunjung tinggi dan kepedulian terhadap sesama menjadi prioritas utama.
Keinginan Sultan Ibrahim untuk berkunjung ke Sulawesi Selatan dan melihat kembali tanah leluhurnya menunjukkan betapa pentingnya identitas budaya bagi seorang pemimpin. Sebagai keturunan Bugis, ia merasa memiliki ikatan emosional dengan Sulawesi Selatan.
Ini bukan hanya tentang nostalgia, tetapi juga tentang bagaimana warisan budaya bisa menjadi kekuatan untuk memperkuat hubungan antarbangsa. Sultan Ibrahim memahami bahwa sebagai bagian dari komunitas Melayu yang lebih besar, hubungan antara Johor dan Sulawesi Selatan dapat menjadi model bagi hubungan serumpun lainnya.
Undangan Unhas untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Sultan Ibrahim juga menjadi bentuk penghormatan terhadap kontribusinya dalam memperkuat hubungan kedua negara. Penghargaan ini tidak hanya simbolis, tetapi juga menunjukkan bahwa pendidikan dan kebudayaan bisa menjadi alat diplomasi yang sangat efektif.
Melalui pendidikan, nilai-nilai seperti perdamaian, toleransi, dan kerja sama bisa diajarkan kepada generasi muda, sehingga mereka bisa melanjutkan warisan perdamaian yang telah dirintis oleh para pemimpin seperti JK dan Sultan Ibrahim.
Kerja sama pendidikan dan kebudayaan antara Indonesia dan Malaysia, khususnya antara Unhas dan Kesultanan Johor, merupakan bentuk nyata dari diplomasi damai yang diusung JK. Ia memahami bahwa di dunia yang semakin terhubung, pendidikan adalah salah satu cara terbaik untuk membangun jembatan antarbangsa. Melalui pendidikan, generasi muda bisa belajar tentang pentingnya menjaga perdamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Pada akhirnya, pertemuan antara JK dan Sultan Ibrahim adalah pengingat bahwa nilai-nilai Bugis seperti siri’ na pacce tidak hanya relevan dalam konteks lokal, tetapi juga dalam skala global. Keduanya adalah contoh bagaimana seorang pemimpin bisa menggunakan warisan budaya untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan penuh empati. Filosofi Bugis ini tidak hanya tentang menjaga martabat diri, tetapi juga tentang merawat kemanusiaan.
JK dan Sultan Ibrahim menunjukkan bahwa perdamaian dan kemanusiaan bukanlah konsep yang abstrak, tetapi bisa diwujudkan melalui tindakan nyata, baik dalam hubungan antarnegara maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pertemuan mereka adalah cerminan dari semangat Bugis yang menjunjung tinggi rasa hormat, kerja sama, dan perdamaian bagi seluruh umat manusia.
Penulis: Nur Azizah Samad