Perdamaian bukanlah sekadar ketiadaan konflik, tetapi merupakan hasil dari upaya bersama untuk membangun hubungan yang harmonis di antara individu, komunitas, dan bangsa. Di Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya dan suku, menjaga perdamaian menjadi tugas penting yang harus dimulai sejak dini, yakni dari lingkungan sekolah. Sekolah dapat menjadi laboratorium perdamaian, disini kita mampu membentuk generasi penerus bangsa yang damai dan toleran.
Sekolah memiliki peran sentral dalam mendidik generasi muda tentang nilai-nilai perdamaian. Pendidikan nilai-nilai ini tidak hanya dilakukan melalui pelajaran formal, tetapi juga melalui budaya sekolah yang dibangun oleh guru dan staf pendidikan. Bahkan sekolah juga mampu diartikan sebagai indonesia dalam bentuk sederhana, karena telah mampu menggambarkan kemajemukan yang ada dalam negara ini. Pentingnya mempelajari nilai-nilai seperti toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, empati, dan resolusi konflik secara damai menjadi fokus utama dalam membentuk karakter siswa. Banyak hal yang telah dilakukan pemerintah dalam merealisasikan hal tersebut. Mulai dari kolaborasi program kerja antara kementerian hingga sebuah gebrakan dalam kurikulum. ini membuktikan bah begitu pentingnya sebuah kedamaian.
Indonesia memiliki falsafah hidup yang mencakup nilai-nilai seperti keadilan sosial, persatuan, dan ketuhanan yang maha esa yang dijunjung tinggi dan dipegang teguh hingga saat ini. Sila-sila Pancasila bukan sekadar prinsip dasar negara, tetapi juga mencerminkan semangat untuk hidup rukun dan damai dalam keberagaman. Persatuan Indonesia, salah satu sila Pancasila, menegaskan pentingnya menghargai perbedaan dan membangun persatuan di antara beragam suku, agama, dan budaya. Agar semua ini mudah dipahami maka di uraikanlah dan dijadikan sebuah program pembelajaran wajib di setiap jenjang sekolah.
Pendidikan nilai-nilai ini dimulai dari penanaman sikap-sikap dasar, seperti menghormati pendapat orang lain, tidak diskriminatif terhadap perbedaan suku, agama, atau latar belakang budaya, serta belajar untuk berempati terhadap orang lain. Melalui kurikulum formal dan non-formal,atau baik secara langsung tidak langsung sekolah harus memastikan bahwa nilai-nilai ini tidak hanya diterima secara intelektual, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya sekolah bukan sekedar hanya lingkungan tempat belajar melainkan lebih dari itu. Dia juga berperan sebagai fondasi dalam mempengaruhi karakter perilaku secara mendalam. Budaya ini akan membentuk nilai-nilai, norma, dan praktik yang telah ditetapkan oleh sekolah. Nilai-nilai seperti kejujuran, toleransi,
kerjasama, dan rasa hormat tidak sekedar diajarkan namun juga diamalkan dalam kegiatan sehari-hari. Tentu ini tidak sekedar diberi tahu namun diberi contoh oleh bapak/ibu guru di sekolah. Kebijakan inilah yang akan menyokong lingkungan yang damai, damai dan toleran. namun hal ini tidaklah berhasil jika dilakukan tanpa sikap yang konsisten.
Senantiasa melibatkan siswa dalam berbagai hal, agar mengajarkan dia sebuah tanggung jawab dalam pengambilan keputusan. itu membentuk pribadi dewasa dan berdampak positif ketika telah terjun ke lingkungan masyarakat. Proses tersebut tentunya memperkuat tenggang rasa terhadap sesama dan mengurangi potensi konflik. Tentu hal inilah yang sangat kita harapkan. Kemajemukan yang ada di sekolah membantu siswa belajar untuk mengenali konflik, memahami akar permasalahan sehingga mampu menemukan solusi yang adil dan damai.
Proyek-proyek kelompok, diskusi kelas serta kegiatan ekstrakuler yang menggalang kerjasama antara siswa dan tidak memandang latar belakang merupakan sebuah modal dalam membuka wawasan siswa tentang berbagai perspektif dan pengalaman hidup. Anak tidak akan mudah terpedaya atau terpengaruh dengan hal hal yang bernuansa negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dan ini harus ditanamkan sejak dini seperti kata pepatah “belajar di usia muda bagaikan menulis di atas batu sedangkan belajar ketika dewasa bagaikan menulis di atas air”.
Tentu pembentukan karakter siswa bukan hanya tanggung jawab sekolah semata, namun juga perlu melibatkan orang tua sehingga nilai-nilai perdamaian yang diajarkan dapat diterapkan secara konsisten dan menyeluruh. Banyak dari kita berpikir bahwa menjaga perdamaian harus berperang atau terlibat dalam tugas militer. Bahkan tidak sedikit dari kita menganggap bahwa penjaga perdamaian hanya menjadi tugas seorang TNI, POLRI atau instansi terkait. Semua itu adalah wujud miskonsepsi yang kita tidak sadari berlangsung secara turun temurun. Penting untuk kita ketahui bersama, agar tidak terjadi miskonsepsi secara terus menerus kita harus memahami bahwa penjaga perdamaian adalah upaya untuk menstabilkan situasi konflik, mendukung proses perdamaian, mengawasi gencatan senjata, dan membantu membangun institusi pascakonflik. Sementara TNI dan Polri memiliki kemampuan untuk terlibat dalam misi semacam ini jika dipilih oleh pemerintah dan disetujui oleh organisasi internasional terkait, hal ini bukanlah aspek yang wajib atau eksklusif dari peran mereka.
Lantas jika sekolah tidak memperdulikan kewajiban sebagai wadah membina serta center dalam pembentukan karakter maka akan sangat berakibat fatal bagi Indonesia. Indonesia akan sangat kesulitan dalam mewujudkan generasi emas 2024. Bahkan cita-cita bangsa yakni perdamaian abadi dan keadilan sosial hanya akan menjadi angan-angan atau sekedar harapan semata. Tidak adanya pengawasan dan pembinaan di sekolah anak-anak akan cenderung melakukan perilaku negatif diantara siswa. Beberapa pelajar mungkin akan merasa frustasi
dengan sistem pendidikan atau merasa tidak di dukung oleh gurunya yang dapat mempengaruhi kedisiplinan mereka, memicu perseteruan antara kelompok dan meluas hingga ke masyarakat, terjadi tawuran kriminalitas yang akhirnya kita akan merasa tidak aman, nyaman dan damai dalam beraktivitas di lingkungan kita sendiri. Maka dari itu peran sekolah sangatlah penting dalam mewujudkan sebuah perdamaian.