Negara Indonesia terdiri dari banyak penganut agama yakni Islam, Kristen, dan Yahudi yang saling bekerjasama dalam keuntuhan Negara merah putih dalam balutan toleransi beragama. Namun kini terkoneksi oleh titik-titik ketegangan geopolitik yang terus berlanjut di beberapa Negara tetangga Indonesia.
Kondisi tersebut bukan fakta sejarah yang baru. Sebelum Islam datang, peta agama-agama Timur Tengah dikuasai oleh Kristianitas dalam bentuk Ortodoks Timur. Peta tersebut berbagi ruang dengan Zoroasterianisme di Persia dengan sejumlah kantong Yahudi di beberapa wilayah perkotaan.
Hadirnya Neokolonialisme semakin memuluskan bekerjanya relasi dominasi tersebut dalam konteks peradaban global. Dunia terfragmentasi menjadi dunia ke-1 (negara-negara maju), dunia ke-2 (negara-negara bekas pecahan Uni Soviet), dan dunia ke-3 (negara-negara berkembang).
Beberapa krisis kontemporer tidak lagi dalam lingkup dan pengaruh prahara domestik belaka, tapi juga mengekspresikan proses-proses dan formasi-formasi global. Dekolonisasi yang dilakukan oleh negara-negara terjajah, terutama negara-negara dunia ketiga, tidak lagi membutuhkan solusi-solusi global yang ditawarkan negara-negara maju.
Isu Negara dan bangsa, HAM, demokrasi tidak diterima sebagai konstruk alternatif memecahkan krisis politik mikro. Globalisasi tidak menyiapkan landasan bagi kultur dunia. Sebaliknya, produk-produk regulasi, peradaban dan kebudayaan lebih mencerminkan lokalitas yang diglobalkan melalui media neokolonialisme.
Memandang suatu kebudayaan yang mencakup item-item yang dikonsumsi secara global semacam KFC dan Coca-Cola merupakan persepsi yang kurang tepat. Konsekuensi logisnya, muncul kontra-wacana dengan menghidupkan kembali tradisi-tradisi masing-masing berdasarkan lokalitas dan kekayaan budaya yang dimiliki.
Dalam proses ini pemahaman agama juga larut di dalamnya. Tatanan dunia saat ini adalah tatanan dominasi negara-negara Barat. Hegemoni Barat tidak hanya dilakukan pada bidang ekonomi dan politik, tapi juga termasuk proyek “modernitas”. Ironinya tidak semua negara-negara berkembang dapat beradaptasi langsung dengan softcolonialism proyek modernitas tersebut.
Persoalannya bukan pada memilih antara Barat atau tidak, mengambil ide-ide modernitas atau menolaknya. Kebanyakan rakyat dari negaranegara berkembang lahir pada saat di mana mereka tidak memiliki pilihan selain modernitas. Yang terjadi kemudian adalah individuindividu yang terbelah, menolak Barat tapi pada saat yang sama juga konsumen produk-produk Barat.
Inilah sketsa lintasan panjang masyakarat dunia yang terfragmentasi oleh ambisi politik-ekonomi dan ambigu kehidupan beragama yang diwarnai oleh perampasan-perampasan. Semangatnya mengekspresikan kebencian-kebencian zaman sekarang terhadap politik kontrol dan campur tangan neo-imperealisme Barat.
Korbannya tidak hanya mengarah pada dunia Islam, tapi pada wilayah yang lebih luas seperti kawasan Afrika, Asia, Amerika Latin. Dalam kondisi semacam ini agama bergerak di antara sekian kemungkinan. Religiusitas Postdogmatik Apabila religiusitas berhenti pada absolutisme mekanik maka akan menguatkan sikap-sikap fundamentalistik.
Religiusitas hitam putih atau either-or sepintas mengkampanyekan kesetiaan pada asas-asas fundamental agama. Namun yang terjadi sebaliknya, penolakan perlunya proses sublimasi ke tahap aplikasi ajaran-ajaran agama dalam konteks kontemporer; konteks sosial yang sudah teramat jauh beranjak dari kondisi sosial-kultural pertama kali teks diturunkan.
Ciri menonjol pemahaman keagamaan absolut fundamental jika ditilik dari pernyataan Harvey Whitehouse, adalah adanya konsepsi yang mereduksi kebebasan dan keleluasaan (psikologi) beragama dan kecemerlangan kognisi manusia sehingga kemerdekaan manusia dihilangkan dan memapankannya dalam kondisi kemandekan kreasi.
Manusia benar-benar terkungkung dalam terali skeptesisme dan kepasrahan yang ekstrem yang disebabkan oleh dogma yang dikembangkan, bahwa manusia adalah objek yang selalu depend terhadap kekuatan yang ada di luar dirinya.
Radikalisme agama bagi orang yang telah terkungkung dalam terali skeptesisme dan kepasrahan mengartikan sebagai pilihan sikap yang menghendaki penegakan iman secara tegas dalam bentuknya yang sempurna dan literer, iman sebagai salah satu unsur di dalam keyakinan beragama yang tidak menghendaki kompromi dan interpretasi.
Kondisi ini disebut fundamentalisme reduksionistik yang memiliki keyakinan terhadap kesempurnaan agama sendiri yang dinilai telah mencapai tahap par-exellen. Karena sudah sempurna dan adil menurut mereka maka tidak membutuhkan dekonstruksi dan adaptasi dengan dinamika realitas zaman, tetapi perkembangan zaman itu sendiri yang harus disesuaikan dengan budaya dan sistem nilai par-exellen.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai struktur fundamental pola pikir keagamaan deduktif, yaitu kecenderungan pemeluk agama menafsirkan dan mengaktualisasikan kitab sucinya secara tekstual-skripturalis. Sehingga muncul berbagai paradigm baru yang seakan menguatkan dalih dan misi mereka yang nyatanya itu adalah ketidakpastian dan kesalahan.
Di sisi lain, kebudayaan dan peradaban sebagai suatu sistem nilai dan kognitif (universum symbolicum) yang memiliki worldviewnya sendiri, tidak akan pernah selesai dan sempurna. Semakin tinggi sebuah agama, semakin matang sebuah peradaban dan kebudayaan, semakin ia melengkapi dirinya dengan unsur-unsur yang dinamis, dekonstruktif, dan transfiguratif.
Sesuatu yang par-exellen selalu memuat sisi-sisi penyangsian, pendobrakan, dan pelahiran kembali terhadap dirinya sendiri. Dan di depan gelombang perubahan dunia yang saling gulung dan tanpa preseden historis, serta di depan tantangan besar realitas zaman baru yang menuntut jenis kehidupan dan peradaban yang betul-betul baru.
Dengan adanya suatu tata yang lebih baik dan mengglobal, maka semua manusia, semua bangsa dan kebudayaan, termasuk semua agama, sebenarnya sedang berada di gerbang era semesta yang sama. Yaitu dunia yang dikosongkan dari klaim kebenaran tunggal, absolut, hegemonistik, dan totaliter, sehingga yang ada hanyalah wilayah terbuka bagi realisasi diri bersama umat manusia sedunia.
Dengan demikian, masih ada pengakuan akan sublimasi ajaran agama yang tidak hanya berhenti pada konsep-konsep absolut, tapi masih meyakini peran penting kontekstualisasinya. Di sinilah reinterpretasi ajaran agama menjadi signifikan dan indispensable.
Pemahaman dan ajaran agama era klasik-skolastik tidak untuk ditiru begitu saja dan diterapkan pada segala masa dan keadaan, apalagi pada perkembangan masyarakat yang sudah come of age. Tapi yang harus dikontekstualisasikan adalah nilai-nilai sotereologisnya dan diimplementasikan secara berbeda sesuai dengan perkembangan zaman.
Kecenderungan positif yang menaruh optimisme pada peran agama dengan pendekatan humanistik-interpretatif harus ditindaklanjuti dengan cara meninggalkan modus mode of having yaitu agama yang dipahami dan dikembangkan dalam kerangka modus memiliki (having a religion) yang berhenti pada pola keberagamaan yang personal dan dogmatis.
Sebaliknya, untuk menghindari eksklusivitas tersebut cukup mendesak untuk dikembangkan mode of being yang akan memungkinkan terjadinya toleransi eukumenik dan menolak perilaku pemberhalaan agama yang menutup dialog dengan agama-agama universal.
Dalam keberagamaan mode of being, manusia tidak pernah puas dengan capaian pemahaman dirinya. Agama tidak berhenti dalam pemahaman dirinya (subjektif), tapi selalu didialogkan dengan keberagamaan orang lain (intersubjektif). Keadaan ini memungkinkan terbukanya dialog-dialog yang lebih demokratis dengan semangat mengabdi pada kemanusiaan (be a religious).
Bertolak dari pemikiran di atas perlu diciptakan ruang kebebasan bagi semua pemeluk agama untuk mengekspresikan tuntutan spiritualitasnya. Yaitu dengan cara mentransformasi polapola keberagamaan yang rigid dan eksklusif dengan menggagas dan mengembangkan paham-paham keagamaan yang interpretatif terbuka, dan inklusif.
Keagamaan yang interpretatif doktrin dan dogma agama yang tumbuh dan berkembang dalam lingkup historis yang bersifat partikular, sehingga klaim kebenaran agama yang bersifat eksklusif tidak dapat menegasikan partikularitas historis agama lain.
Pemahaman terhadap ajaran agama, dengan demikian, merupakan kebenaran yang terbelenggu oleh konteks sosialnya dan bersifat interpretable. Yang diperlukan kemudian adalah kesadaran akan realitas historis-sosiologis pluralitas agama yang diharapkan dapat melahirkan sikap yang mampu mengapresiasi sisi partikularitas berbagai kehidupan beragama sehingga terjalin komunikasi antar iman (interfaith).
Hakikat agama yang benar hanya satu, tetapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak dapat dielakkan dari realitas sejarah. Dengan kata lain, pesan kebenaran Yang Absolut berpartisipasi dan bersimbiose dalamdialektika sejarah.
Karena itu, doktrin, dogma dan pemahaman agama selalu bergerak dalam rentang waktu tertentu sehingga apa yang disebut teologi, misalnya, tentu juga bersifat antropologis. Mengingat fenomena dan perilaku keberagamaan dapat didekati dari sudut pandang teologi, psikologi, antropologi, dan perspektif disiplin lainnya yang kesemuanya merupakan produk pemikiran diskursif.
Sehingga dialog mengenai pengalaman iman dan upaya membangun teologi yang inklusif dan dialogis bukanlah hal yang tabu. Bahkan jika ajaran agama dipahami sebagai refleksi kritis tentang sebuah doktrin dan dogma yang committed terhadap upaya-upaya perdamaian dan meningkatkan peradaban manusia, maka pemeluk agama harus sudah beranjak dari paham eksklusif ke pandangan inklusif.
Dalam konteks kekinian, konsekuensi dari komitmen tersebut harus diarahkan pada peta sosiologi modern. Suatu ikhtiar untuk menemukan kembali sistem makna yang dapat membebaskan manusia dari segala macam bentuk determinisme yang terdapat dalam pranata-pranata modern. Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali agama dalam makna historisnya sebagai sarana pembebasan.
Agama dalam era nestapa manusia modern, yang ditandai dengan terjadinya krisis multidimensi, dituntut menunjukkan idealismenya dengan memberikan kontribusikontribusi praktik sosial yang lebih meneduhkan. Agama yang berpusat pada manusia dan kekuatannya yang dikembangkan untuk memahami diri dan agamanya hubungannya dengan sesama dan kedudukannya di alam ini.
Pada prinsipnya idealisme di atas lebih mencerminkan sebagai persoalan epistemologi. Artinya segala persoalan pada isu-isu agama kontemporer lebih banyak disebabkan oleh faktor interpretasi dari masing-masing pemeluk agama. Hal ini merupakan agenda intelektual bagi (elite) pemeluk agama.
Solutif yang dapat dilakukan kemudian adalah menyiapkan rancang bangun pemikiran keagamaan alternatif sebagai rekonstruksi terhadap pemikiran lama yang dianggap kurang praktis, tidak jelas, tidak membebaskan dan terjebak status quo, tertutup, dan eksklusif.
Selanjutnya dikembangkan pemikiran lain dengan asas bahwa agama merupakan wacana kemanusiaan yang terbuka dan siap berhadapan dengan persoalan baru dan penafsiran baru pula yang tetap berlandaskan dalam ajaran kitab dan kepercayaan masing-masing.
Sehingga tidak ada lagi wacana agama yang dianggap final serta tidak ada substansi akhir dalam wacana keagamaan, tapi lebih bersifat open ended. Ketika komunitas suatu agama, peradaban, maupun kebudayaan kurang kreatif dan cerdas dalam menafsirkan, membongkar, dan menyangsikan pencapaian dan prestasi monumentalnya, maka akan muncul model penafsiran yang bersifat klenik, mitis, dan ideologis.
Habit of mind yang semacam ini sering berputar dan bersiklus buruk di seputar pemeluk agama tertentu yang di dalamnya terkandung mentalitas dan cara kerja yang absolut. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melakukan eliminasi dan pengikisan manipulasi dan dominasi yang tersimpan kuat dalam pemikiran (epistemologi) ajaran agama.
Sehingga diharapkan mampu memunculkan entitas-entitas kulturalkeagamaan yang saling merefleksikan, saling mendukung, dan menumbuhkan sinergisme interaktif yang disertai dobrakan-dobrakan kreatif revolusioner yang membentangkan sistem kognitif dan world view baru. Dari sini akan lahir kenyataan-kenyataan agama alternatif.
Sebagaimana hal yang sama juga pernah dikobarkan oleh semangat gerilya postmodernisme dalam memberikan kontribusi pada pendauran dan pengangkatan arus sejarah dari dunia yang melahirkan kembali dirinya, memberi legitimasi pada aspirasiaspirasi revolusioner pembebasan mengatasi kemodernan.
Pemahaman keagamaan yang ekstrem selalu mengusung otoritas dan monopoli kebenaran. Argumentasinya dibangundi atas klaim kebenaran dengan cara menggeser kelompok lain yang dianggap berbeda dan bertentangan. Maka di tengah kehidupan global yang semakin kompleks dan plural kehidupan beragama semakin ditantang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.
Upaya menjawab dan kemampuan menjawab tantangan ini tentunya akan semakin menunjukkan kiprah dan peran agama pada bentuk hubungan sosial yang semakin dewasa. Kalau kenyataan ini yang terjadi, maka keinginan menjadikan agama sebagai landasan etis dalam mengatasi kekerasan bukanlah suatu utopia belaka.
Agama bukan lagi angan-angan kosong yang selalu menyembunyikan iktikad baiknya dan selalu mengedapankan ambisi politik pemeluknya, tapi agama dengan perbedaan yang selalu terjaga dan terbangun merupakan koherensi dan keharmonisan sosial. Hal yang dibutuhkan kemudian adalah spiritualitas- antropik.
Suatu kredo pemikiran keagamaan yang mencoba memposisikan manusia pada pusat edar subjektivitas jagad raya yang ditransendensikan sepenuhnya pada kesadaran spiritual Ilahiyah. Ide ini menekankan dan menghargai nilai-nilai luhur humanisme-universal yang konsen pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan dengan mengandalkan pada ilmu pengetahuan empiris.
Selain itu, juga menghargai persamaan dan mengakui keunikan masing-masing (deabsolutizing truth) sehingga tercipta pluralitas yang memiliki klaim dan keyakinan relatif (relatively absolute). Dengan konsep pemikiran di atas akan terbangun keberagamaan intersubjektif.
Keberagamaan yang telah melampaui pembenaran-pembenaran terhadap apa yang telah dipahami dan diyakini. Agama di mana semua pemikiran penting atas nama agama dianggap sebagai nilai kebenaran yang absolut secara relatif. Intersubjektif juga berarti keberagamaan yang menuntut kita hidup dalam keberlainan, menerima apapun perbedaan sebagaimana adanya bukan sebagai yang kita kehendaki.
Ryn Manist (Sumber : Berbagai Referensi)