Intoleransi merupakan masalah genting bagi setiap penduduk dunia. Beberapa negara malah mengalami perpecahan akibat intoleransi yang terjadi dan kebanyakan disebabkan oleh tiga hal, yaitu agama, konflik anta retnis dan perbedaan pandangan politik. Dan ketiganya ini ada di bumi pertiwi tercinta kita negara Indonesia. Komplit, bukan? Nah, mengingat itu sebenarnya gimana sih keadaan toleransi kita di indonesia apakah gawat atau apakah aman-aman aja?
Berdasarkan survei dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat atau PPIM UIN JAKARTA , baru-baru ini PPIM merilis hasil survei baru yang di rilis tanggal 8 maret 2021. Bedanya survei kali ini respondennya yah nggak cuma masyarakat beragama Islam saja tapi ada juga Kristen, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu.
Semua agama ada dan tersebar di 34 provinsi di Indonesia yang dibagi secara proporsional jadi pembagiannya rata dan tidak berat sebelah. Hasil survei diperoleh data sekitar 69,83% mahasiswa di Indonesia memiliki sikap toleransi antar agama yang tinggi, sisanya sekitar 30,17%. Yang jadi perhatian saya sebagai seorang Muslim adalah level toleransi ummat Islam ini berada di level yang sangat rendah sangat jauh berbeda dengan yang lain berada di level yang sangat tinggi.
Hasil survei berdasarkan jenis perguruan tingginya, perguruan tinggi agama ini berada di level sangat rendah kelihatan jelas bedanya dengan jenis perguruan tinggi yang lain kedinasan , negeri, dan swasta. Lanjut, pada hasil survei juga menunjukkan bahwa makin tinggi interaksi lintas agama dan lintas etnisnya makin tinggi juga toleransi orang tersebut. Berarti bener dong yah peribahasa tak kenal maka tak sayang.
Berdasarkan survei juga yang membuat toleransi makin rendah adalah makin tinggi tingkat keaktifan pada kegiatan keagamaan dikampus, sikap toleransi mahasiswa makin rendah, makin tinggi rasa keterancaman, baik sosial maupun ekonomi, maka makin rendah sikap toleransi mahasiswa dan semakin intense membaca artikel keagamaan online.
Nah itu kan berdasarkan surveinya, kita lihat contoh kasusnya. Disaat pandemi ini justru kasus intoleransi terus mengalami perlonjakan kasus. Berdasarkan artikel yang diterbitkan oleh tirto, kasus-kasus intoleransi lain yang terjadi selama pandemi diantaranya: sekelompok orang mengganggu ibadah jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi pada 13 September; sekelompok warga Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta di Bogor pada 20 September; umat Kristen di Desa Ngastem, Kabupaten Mojokerto, dilarang beribadah oleh sekelompok orang pada 21 September; dan larangan beribadah terhadap jemaat rumah Doa Gereja GSJA Kanaan di Kabupaten Ngajuk, Jawa Timur, pada 2 Oktober.
Pandemi semestinya membuat orang lebih bisa bersolidaritas. Tapi nyatanya masih ada saja oknum yang melakukan tindakan-tindakan intoleran.
Survei PPIM juga menyebutkan bahwa internet punya andil paling besar dalam menyebar paham intoleransi. So, yah saya teringat lagi kejadian kemarin yang sangat memalukan bagi diri pribadi yakni survei Microsoft yang mengatakan jika level sopan santun netizen Indonesia itu berada di level paling bawah di asia tenggara, salah satu faktor penyebab ketidaksopanan ini adalah HOAX.
Netizen kita ini hobi sekali menyebar hoax, share sana sini. Alhasil yah muncul ujaran kebencian yang akhirnya mengakibatkan adu mulut tanpa disertai data, yang harusnya kita tuh adu data bukannya adu banteng eh domba.
Last word, kasus-kasus intoleransi di Indonesia ini semoga bisa diperbaiki dan saling menguatkan kedepannya. Kita harus sadar bahwa walaupun kita berbeda kita tetap bersama dengan saling percaya saling respect satu sama lain percaya antar suku dan agama agar tidak mudah di adu domba.
Cha’
Sumber: convey indonesia